Sabtu, 21 September 2013

Cover book's and Story






Akankah? Sebuah romantika kehidupan

"Andaikata aku jadi lelaki. Aku akan mencintaimu, bahkan menjaga dan meminangmu. Namun nyatanya. Itu, kan jadi bayang. Aku hanya bisa, memandangi mu, mengdengus wangimu, dan menyapamu, hanya sekedar hanya. AKANKAH? aku bersamamu....   tapi Tuhan melarangnya, dan aku menerimanya. I love you mbak, sebaiknya kau tidak pernah tahu rasa ini."






Terlunta dalam hampa



"Dunia tak lagi cerah parasnya. Karna hati dan fikiran ini telah terisi pekat. Engkau tahu apa itu? " ya... Trauma masa kecil" tak pelik-peliknya, menghantui hingga ku dewasa. Wajahnya, bagi kebanyakan orang adalah ketentraman, dan ketenangan, menurutku itu ketakukan, setan, keputus asaan, tiada belas kasih. Dan aku memiliki tiga teman, yang setia padaku. Bahkan rela membunuh ketakutanku. 3 teman yang hadir kala aku membutuhkan sesok dinding ratapku. Dan satu persatu, saat aku meratap, mereka datang. Hingga sekarang mereka menemaniku. Lantas ketakutan datang, setelah kesuksesan menjamahku. ritual malam yang selalu kulakukan jauh lebih parah dari biasanya sebab kedatangannya. Dan mereka bertiga kembali membantuku dengan membunuh "orang yang kutakuti itu".

 Tak lama kemudian mereka hadir dengan berlumur darah di sekujur tangan, dan satu pisau tajam yang Aida (salah satu dari mereka) pegangi . "Aku telah membunuhnya. Tak perlu engkau takut lagi" ujarnya.

Hatiku lega mendengarnya. Dan kusuruh Aida dan 2 temanku yang lain membersihkan lumuran darahnya.
Celaka, sungguh celaka. Ternyata kelakukan 3 temanku telah diketahui oleh saudara ibuku. Mereka kebocoran setelah menikam mayat ibu.

Saudara ibuku datang dengan membawa warga, mendobrak kamar dan memaksa masuk kekamarku. Dan ia memarahiku dan berkata “mengapa engkau tega membunuh ibumu sendiri?”
“Apa aku membunuh ibu. Tidak mungkin lah”. Kataku
“bohong…  aku melihatnya sendiri, kamu mencabik isi perutnya”
“tidak. Aku tidak membunuhnya. Dari tadi aku dikamar. Ia kan suster”

Tanyaku pada suster yang menjaga kesehatan psikisku

Tapi wajah suster membiru pucat, dan terlihat begitu terkejut atas tanyaku
“tapi , saya melihat mbak nayla dari luar dengan berlumuran darah, seraya mensebunyikan sesuatu di saku” ujar suster
“Na….apa lagi yang harus di sangkal. Bukti sudah ada nayla” kata saudara ibu
“Tidak, bukan aku tapi…”
Tiba-tiba 3 temanku mendatangi keramaian yang terjadi. Setelah mereka membersihkan darah dikamar mandi.
“mereka!!!”
Aku menunjuk mereka 3 sahabatku. Sedangkan mereka hanya terdiam membisu tanpa kata.
“siapa? Tanya saudara ibu dengan penuh tanda tanya
“mereka??? Aida, marsella, dan dinda, mereka yang membununuh ibu"
“Aida,marsella, dinda yang mana?

Aku bingung kepayahan. Apa gerangan yang terjadi. Mengapa mereka tidak dapat melihat ketiga temanku.
“Heh…  mau mengelak ya “ saud saudara ibu
“Lihat tanganmu. Kau masih menyisakan lumuran darah, juga pisau untuk menerkam ibumu”

Kejutku terperannga, wajah ku di aliri keringat dingin bercampur pilu, lantas tangan ku pandangi. Dan ternyata benar. Aku tengah berdiri dengan lumuran darah di tanganku seraya membawa satu pisau tajam yang ku genggam erat. Aku tak percaya-aku tak percaya
“Berarti aku sendiri yang membunuh ibuku??.  Tidak mungkin-tidak mungkin.
Nayla meronta-ronta, menjerit tidak percaya dengan apa yang tlah ia lakukannya. Fikirannya tak lagi jernih, keadaan yang suram bertambah suram. Dan ia tak henti-hentinya berkata
“tidak mungkin-tidak mungkin”

Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku perbuat. Kejernihan ku hilang, nurani ku meredup. Keinginan hidup pupus. Sedangkan mereka mendekati ingin menjebloskan ku kedalam penjara.

“tidak mungkin”

Kataku yang terakhir  kalinya. setelah itu, tangan tak lagi bisa diajak berbicara, ketakutan merajai, kecemasan, keputus asaan hingga ku tusuk diriku sendiri dan mati diambang kepedihan.

Tiba-tiba ibu nayla tersadar dari tidurnya.
Terlukis lumuran letih, kecemasan dan keringat mengguyur wajahnya. Asap rokok masih mengepul mengisi ruang tamu. Lalu cepat-cepat ia matikan.

Dan ia langsung berlari menuju kamar mandi, untuk membukakan pintu yang ia kunci. Dan pintu ia buka, pucat biru menghiasi paras gadis munyil bernama nayla. Dan tak mau bertahan lama-lama memandangi, sang ibu langsung menggendong nayla ke ruang tamu. Lalu menyelimutinya.

“Nayla. Maafkan ibu, maafkan ibu. Tidak sepantasnya ibu menyiksamu seperti ini. Kamu tidak salah. Tapi ibulah yang salah, karna selalu berfikir negatif dan keburukan. Maafkan ibu nak. Maafkan ibu.” Rintih ibu kepadaku

Tapi aku hanya diam menatapi ibu, yang air matanya kian membanjiri lekukan-lekukan garis diwajahnya. Dan kubertanya-tanya, apa yang terjadi padanya. Tidak biasanya ia seperti ini. Yang kutahu ia hanya bisa memukul, menampar, memarahi dan mengurungku semalam suntuk di kamar mandi. Tak jarang ia memboykotku dari makan.

“Nak maafkan ibu.  Jika kamu tidak memaafkan ibu. Balaslah ibu, balas ibu. Tamparlah, pukullah jika itu bisa membuat nayla memaafkan ibu”
“Tak perlu bu. Mengetahui ibu telah sadar aku sudah bahagia sekali. Dan tanpa ibu meminta maafkanpun nayla telah memaafkan ibu. Aku sayang ibu”
Dan ibu menarikku dalam dekapan hangat nya, yang selama ini telah terlupakan.






"cover. buat latihan.....   ambil dari buku seseorang"







"Tertantang dari judul novel mb FIn"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...