Tak berani berkata hanya bisa menggrutu di dalam dada
melihat pelanggaran-pelanggaran yang telah tertera dan disepakati oleh siapa saja yang memutuskan untuk menimba
ilmu di pondok pesantren.
Mencoba berprotes kepada kepada siapa?
La wong ia saja bukan siapa-siapa yang berma’na (yang punya
pengaruh).
Bukanlah ia seseorang yang dihormati apalagi disegani.
Menyuarakan suara atau pendapatnya pada sang pengurus hanya lelucon anak-anak
dalam pandangan mereka.
Pelanggaran, merugikan, mendzalimi tetaplah suatu kesalahan
dan siapapun jua berhaq mensuarakan atas ketidak baikan itu, agar ditindak
lanjuti.
Bagi orang yang telah diberi galar ustadz, pengurus, apakah
hanya mereka saja boleh bersuara?
Sedangkan orang-orang yang tak bergelar, apakah tak boleh
bersuara?
Bisa jadi suara orang yang tak bergelar jauh lebih berma’na
dan dalam, jika ia berada ditempat kejadiannya atau mengetahui secara langsung.
Dan terkadang pula,bersuara tak berani
disebabkan rasa sungkan atau takut.
Jadi….. dengarkanlah kami!!!!
Surat untuk sang kiai
Alangkah baiknya untuk Pak Kiai atau Bu Nyai mendengarkan
jeritan orang yang tidak bergelar ini lewat jalan apapun. Dan salah satu jalan
yang mudah adalah , mensediakan fasilitas kotak surat suara santri. Agar santri
siapapun itu, berani bersuara, walaupun tanpa nada dan hanya kata-kata. Yang
penting adalah ma’na atau isi dari suara itu.
Wallohu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar