Jumat, 20 September 2013

Surat Untuk Sang Kiai




Tak berani berkata hanya bisa menggrutu di dalam dada melihat pelanggaran-pelanggaran yang telah tertera dan disepakati  oleh siapa saja yang memutuskan untuk menimba ilmu di pondok pesantren.
Mencoba berprotes kepada kepada siapa?

La wong ia saja bukan siapa-siapa yang berma’na (yang punya pengaruh).

Bukanlah ia seseorang yang dihormati apalagi disegani. Menyuarakan suara atau pendapatnya pada sang pengurus hanya lelucon anak-anak dalam pandangan mereka.
Pelanggaran, merugikan, mendzalimi tetaplah suatu kesalahan dan siapapun jua berhaq mensuarakan atas ketidak baikan itu, agar ditindak lanjuti.

Bagi orang yang telah diberi galar ustadz, pengurus, apakah hanya mereka saja boleh bersuara?
Sedangkan orang-orang yang tak bergelar, apakah tak boleh bersuara?

Bisa jadi suara orang yang tak bergelar jauh lebih berma’na dan dalam, jika ia berada ditempat kejadiannya atau mengetahui secara langsung. Dan terkadang pula,bersuara  tak berani disebabkan rasa sungkan atau takut.

Jadi….. dengarkanlah kami!!!!

 Surat untuk sang kiai

Alangkah baiknya untuk Pak Kiai atau Bu Nyai mendengarkan jeritan orang yang tidak bergelar ini lewat jalan apapun. Dan salah satu jalan yang mudah adalah , mensediakan fasilitas kotak surat suara santri. Agar santri siapapun itu, berani bersuara, walaupun tanpa nada dan hanya kata-kata. Yang penting adalah ma’na atau isi dari suara itu.
  Wallohu a’lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...