Kamis, 26 September 2013

Betapa manusia merintih



Betapa para manuisa merintih, ditengah zaman modernisasi, yang semakin maju langkahnya, meninggalkan bulir-bulir moral pada laju kemajuannya . Hingga mungkin saja moral kan ditiadakan, dan hanya menjadi seongok prasasti. (semoga tidak)
Betapa aku malu terhadap alam raya ini. Karna mereka memiliki moral yang lebih mulia dari ku. Yaitu ketundukkan, kepasrahan,dan menjalankan. Sedangkan aku merusaki mereka dengan menghilangkan kesimbangannya. Banjirlah melanda, kekumuhan bertebaran dimana-mana.
Dan ini baru lingkungan. Belum yang lain.

Parasku bagai ular yang berbisa. Disebabkan hati dipenuhi kepekatan belaka. Gelap. Sungguh gelap dirasa, dan menuaikan aliran pada wajah, masam kerutan wajahnya. Dan mulutnya bagai panah beracun yang siap menancapkan belati yang tlah diolesi beberapa ramuan rancun, hingga ketika hati yang segar tidak berdosa kan tersakiti atas tusukan bengisnya, dan racun yang dialiri dari belati tersebut mensyayat sanubari.
Tidak hanya ini.

Perutnya buncit, laksana bom yang akan meledak. Masih tega-teganya mengumbarkan omong kosongnya pada publik, tapi dibalik kekosongan bersuanya, ia berakus ria dengan uang haram jerih tanpa payahnya. Memakan bulir-bulir keharaman tanpa rasa belas kasih pada yang disana tengah terlunta dalam kehampaan hidupnya. Berteduh dijembatan-jembatan kotor, dengan ber alas dingin dan panas yang menusuk. Mungkin tak sedikit pula, menjadikan langit sebagai selimutnya, menjadikan tanah sebagai alas tidurnya.
Tidak hanya itu dan masih banyak lagi. Ini raungan gelisahku atas moral yang kian luntur kala zaman semakin maju dengan intlektualitasnya. Dan aku juga gelisah akan diriku sendiri.

Aku bertamu dalam kekosongan. Menayakan kepadanya tentang beberapa hal sebab terjadinya torehan diatas. Tapi ternya ia sedang mencongkel dirinya. Terbalut amarah yang meronta-ronta. Hingga mulut nadinya berdegup benci. Andaikat tersuarakan kan terkata “aaaa…. Benci”. Aku prihatin padanya. aku ingin membatunya, biar kutawarinya. “bila engkau sungkan berbicara padaku, coba, lepaskanlah ego picikmu, dan umbarkan kata “ALLAH” biar menggema dalam dirimu. Biar satu kata yang kau ulang-ulang dalam katamu, kan menjadi pelita benderang yang menyinari sekujur tubuhmu.  Biar  gemamu lama-lama berkumandang, agar bencimu meluntur diri hingga berganti cinta.

Hay kekosongan hay kau, adalah kedalam hati. Letak mu tak kasat mata, tapi engkau sangat dekat dan sangat terasa.

Biarpun adamu seolah tak beruang, karna engkau tak menempati hal suatu hal yang dapat dibagi-bagi. Senyum, tawa, dan sedih mu begitu mempengaruhi jalannya hidupku. Aku ngin berkata padamu “selalu dan selalu, cahayailah dirimu agar hidupku kan dipenuhi cinta, bukan pada satu hal saja, melainkan segalanya. Dan hanya yang khusus lagi diproitaskan utama . yaitu dalam cinta dan kepercayaan lagi ketakutan, khusus bagi Yang satu, bukan sesuatu. Lalu, ketika cinta dan pelita terang benderang telah merajai dirimu. Aku ingin bertanya padamu bukan beberapa hal tapi satu saja. “pasti kau bahagia kan? ^_^”

Lalu lunturkan amarah mu, dan kembali mencerna pengertian-pengertian akan ma’na khidupan ini dari sudut pandang apa saja. Dan berfikir, “ begini cara membenahinya, bukan bagaimana cara membenahinya (piye-piye ?) dan berceloteh keluh.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...