Betapa para manuisa merintih, ditengah zaman modernisasi,
yang semakin maju langkahnya, meninggalkan bulir-bulir moral pada laju
kemajuannya . Hingga mungkin saja moral kan ditiadakan, dan hanya menjadi seongok prasasti. (semoga tidak)
Betapa aku malu terhadap alam raya ini. Karna mereka
memiliki moral yang lebih mulia dari ku. Yaitu ketundukkan, kepasrahan,dan
menjalankan. Sedangkan aku merusaki mereka dengan menghilangkan kesimbangannya.
Banjirlah melanda, kekumuhan bertebaran dimana-mana.
Dan ini baru lingkungan. Belum yang lain.
Parasku bagai ular yang berbisa. Disebabkan hati dipenuhi
kepekatan belaka. Gelap. Sungguh gelap dirasa, dan menuaikan aliran pada wajah,
masam kerutan wajahnya. Dan mulutnya bagai panah beracun yang siap menancapkan
belati yang tlah diolesi beberapa ramuan rancun, hingga ketika hati yang segar
tidak berdosa kan tersakiti atas tusukan bengisnya, dan racun yang dialiri dari
belati tersebut mensyayat sanubari.
Tidak hanya ini.
Perutnya buncit, laksana bom yang akan meledak. Masih
tega-teganya mengumbarkan omong kosongnya pada publik, tapi dibalik kekosongan
bersuanya, ia berakus ria dengan uang haram jerih tanpa payahnya. Memakan
bulir-bulir keharaman tanpa rasa belas kasih pada yang disana tengah terlunta
dalam kehampaan hidupnya. Berteduh dijembatan-jembatan kotor, dengan ber alas
dingin dan panas yang menusuk. Mungkin tak sedikit pula, menjadikan langit
sebagai selimutnya, menjadikan tanah sebagai alas tidurnya.
Tidak hanya itu dan masih banyak lagi. Ini raungan gelisahku
atas moral yang kian luntur kala zaman semakin maju dengan intlektualitasnya.
Dan aku juga gelisah akan diriku sendiri.
Aku bertamu dalam kekosongan. Menayakan kepadanya tentang
beberapa hal sebab terjadinya torehan diatas. Tapi ternya ia sedang mencongkel
dirinya. Terbalut amarah yang meronta-ronta. Hingga mulut nadinya berdegup
benci. Andaikat tersuarakan kan terkata “aaaa…. Benci”. Aku prihatin padanya.
aku ingin membatunya, biar kutawarinya. “bila engkau sungkan berbicara padaku, coba,
lepaskanlah ego picikmu, dan umbarkan kata “ALLAH” biar menggema dalam dirimu.
Biar satu kata yang kau ulang-ulang dalam katamu, kan menjadi pelita benderang yang
menyinari sekujur tubuhmu. Biar gemamu lama-lama berkumandang, agar bencimu
meluntur diri hingga berganti cinta.
Hay kekosongan hay kau, adalah kedalam hati. Letak mu tak
kasat mata, tapi engkau sangat dekat dan sangat terasa.
Biarpun adamu seolah tak beruang, karna engkau tak menempati
hal suatu hal yang dapat dibagi-bagi. Senyum, tawa, dan sedih mu begitu
mempengaruhi jalannya hidupku. Aku ngin berkata padamu “selalu dan selalu, cahayailah
dirimu agar hidupku kan dipenuhi cinta, bukan pada satu hal saja, melainkan
segalanya. Dan hanya yang khusus lagi diproitaskan utama . yaitu dalam cinta
dan kepercayaan lagi ketakutan, khusus bagi Yang satu, bukan sesuatu. Lalu, ketika
cinta dan pelita terang benderang telah merajai dirimu. Aku ingin bertanya
padamu bukan beberapa hal tapi satu saja. “pasti kau bahagia kan? ^_^”
Lalu lunturkan amarah mu, dan kembali mencerna
pengertian-pengertian akan ma’na khidupan ini dari sudut pandang apa saja. Dan berfikir,
“ begini cara membenahinya, bukan bagaimana cara membenahinya (piye-piye ?) dan berceloteh
keluh.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar