Ketika nyamuk terbang
menghampiri tangan putih yang terlena.
Kakinya telah menginjak hamparan putih. Penghisap di mulut
kan ia tusukkan pada kulit itu.
Ia hisab, ia hisab, ia hisab sehingga di perut munyil nyamuk
itu penuh akan darah segar.
Oh tidak….
Ternyata si pemilih tangan indah itu, telah menyadari dari
awal kedatangannya. Dikarenakan si nyamuk mendengkurkan suara rengekan
laparnya, yang terdengar bising di
gendang telinga, saat sebelum kakinya berpijak.
Ouh… sedotan demi sedotan itu semakin terasa sensasi
gatalnya. Membuat tangan yang satunya sudah tak tertahan lagi ingin
mencabiknya.
Mengendap-endap, bagai elang, tangan itu mengarungi angkasa,
sampai bayangannya telah tepat berada di atas kepala si nyamuk.
Plakk….. sensasinya
tak terkira.
Perutnya, mengantungi banyak darah pecah dengan tragis. Darahnya
berserakan di lantai-lantai putihnya.
Diri si nyamuk sudah terpecah belah dan lenyet.
Saat tangan putih akan menamparnya. Ia urungkan niat keji
itu.
“meski hanya seongok nyamuk kecil. Ia memiiki satu nyawa,
seperti manusia. Apa salahnya menghargai kehidupannya… meski hanya satu nyawa nyamuk, yaqinlah ia
juga istimewa”
“Ya sudahlah darah yang kau ambil itu, kurelakan untukmu. Toh,
yang kau ambil tak seberapa. Bahkan tak membuatku bergelimpangan di lantai
kehabisan darah.
“ Mungkin , lebih baik aku melihat nyamuk itu jadi santapan
cicak daripada mati di tanganku sendiri”
Nyamuk itu kemudian, terbang dengan perut kekenyangan
seakan-akan, akan terjatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar