Selasa, 11 Februari 2014

Nyamuk




Ketika  nyamuk terbang menghampiri tangan putih yang terlena.

Kakinya telah menginjak hamparan putih. Penghisap di mulut kan ia tusukkan pada kulit itu.

Ia hisab, ia hisab, ia hisab sehingga di perut munyil nyamuk itu penuh akan darah segar.

Oh tidak….

Ternyata si pemilih tangan indah itu, telah menyadari dari awal kedatangannya. Dikarenakan si nyamuk mendengkurkan suara rengekan laparnya, yang terdengar bising di  gendang telinga, saat sebelum kakinya berpijak.

Ouh… sedotan demi sedotan itu semakin terasa sensasi gatalnya. Membuat tangan yang satunya sudah tak tertahan lagi ingin mencabiknya.

Mengendap-endap, bagai elang, tangan itu mengarungi angkasa, sampai bayangannya telah tepat berada di atas kepala si nyamuk.

Plakk…..  sensasinya tak terkira.

Perutnya, mengantungi banyak darah pecah dengan tragis. Darahnya berserakan di lantai-lantai putihnya.
Diri si nyamuk sudah terpecah belah dan lenyet.

Saat tangan putih akan menamparnya. Ia urungkan niat keji itu.

“meski hanya seongok nyamuk kecil. Ia memiiki satu nyawa, seperti manusia. Apa salahnya menghargai kehidupannya…   meski hanya satu nyawa nyamuk, yaqinlah ia juga istimewa”

“Ya sudahlah darah yang kau ambil itu, kurelakan untukmu. Toh, yang kau ambil tak seberapa. Bahkan tak membuatku bergelimpangan di lantai kehabisan darah.

“ Mungkin , lebih baik aku melihat nyamuk itu jadi santapan cicak daripada mati di tanganku sendiri”

Nyamuk itu kemudian, terbang dengan perut kekenyangan seakan-akan,  akan terjatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...