Sabtu, 08 Februari 2014

Terbayang





Berbinar-binar pandangan yang terpancarkan.  Aura wajahnya menampakkan bahagia. Senyumnya terpenuhi kasih sayang. Tutur katanya bagai angin yang membelai bukan membadai. Itu pasti orang yang jatuh cinta. Tapi itu bukan aku. Karena yang kurasakan tentang hal seperti itu adalah berada didalam kepopong yang hangat, terpenjara lagi buta memahami.

Semilir angin
Daun yang berguguran
Awan yang berpose di kanvas langit
Pohon-pohon yang menari oleh deraian angin
Semua itu kan buta, saat diri terpenjara oleh cinta, karena yang ada hanya si dia, yang wajah munyilnya menutupi segala keindahan yang terlenakan.

Dak dig duk…..   seolah dadaku tercongkel di grogoti sibadut yang suka mengganggu. Lewatnya di depanku, sudah cukup membuatku linglung kemayangan.

Ia duduk di dekatku. Hanya duduk.  Sudah cukup membuatku tak dapat berkata apa-apa.
Kataku gagap, selaksa diambil rajawali  dengan kegagahannya .  Mulutku mengunci selaras adanya dia di dekatku.

Iya benar. Itu dia. Namun tak akan pernah aku tulis namanya dalam goresan pada putih suci buku diary. Biar namanya menjadi prasasti yang terukir dalam dada. Dengan keputusan yang angkuh, buku diariku tak ada namamu. Yang ada hanya tentang kamu.

Aku tinggal di dunia, dan suka membuat-buat dunia sendiri. Seolah dunia yang kucipta sendiri dalam angan, jauh lebih nyata dari nyatanya dunia.

Taman kini ramai. Para manusia berlalu lalang di panggung sandiwara menurut nalarku. Panggung yang tercipta, dan telah di secenario sang pencipta alur ceritanya.

Bosan aku bersandiwara dengan berlagak senyum bahagia di depan mereka. Lebih baik aku berlari di duniaku sendiri.

Bising suara canda tawa, kesibukan, lenyap di telan angan ku. Suara-suara itu menghilang, seolah aku hanya sepi, seolah aku hanya sendiri dan sunyi dikeramaian. Tapi sebenarnya tidak. Karena aku mencipta ramai sesuai keinginan ku sendiri. Dan aku menikmatinya.

Namun bahagia ku raip karena si badut itu malah berjoget ria di dunia ku. Menggunakan sebilah pedang mengiris-ngiris jatung hati ku. Hingga darah yang masih segar bercucuran memenuhi fikiranku. Darah yang mengalir seolah melukiskan dirinya untuk selalu terbayang.

Aku coba alihkan pada yang lain, namun ia tetap berlari menghampiriku.

“Hah….. pergi-pergi”  grutuku, yang kuucap lewat triakan.

Beruntung kini taman telah sepi dan tiada siapapun yang melihatku. Bilapun ada bisa-bisa aku dianggap gila.

Oh tidak…. Si sidia meihatku.

Wajahku memerah lebam, bak tomat busuk. Tapi dia hanya melihat dan terseyum, lalu pandangannya kembali pada hp yang ia genggam.

Ia lewat begitu saja. Ya begitu saja. Tanpa bertanya ada apa yang terjadi denganku.

Teman sebayaku menghampirinya. Dengan keceriaan ia menyapanya dengan tawa. Mereka berdua berkoer-koer layaknya ayam jago bertemu sang gadis babon yang jelita.

“Haha”  tawa kecut melumuri wajahku.

Pertemuan mereka dihiasi pembicaraan bual. Selaksa nonton ftv  di televisi. Tapi acting mereka kisah nyata.
Bosan aku pelototi mereka yang sedikitpun tak mengangap ku ada di dekat mereka. Hatiku remuk, di sayat kelakuan mereka berdua. Bila mereka didalam dunia khayalku, pasti sudah ku basoka muka-muka mereka.  Kalo tidak ada, maka aku akan menjadi fampir yang bertaring paling kejam lalu kugrogoti wajah mereka.  Biar hilang wajah badut itu. Sedang adinda akan aku biarkan ia menilik insiden kejam ini, dan lari terbirit-birit meninggalkan Ronal.

“Haha….. bercanda. Astaghfirulloh”  aku berbicara untuk sekedar menasehati diriku, dan memberi sedikit tepukan pada paru-paru agar lebih tenang.

                                                                                   ***

Adinda, senyum-senyum sendiri di tengah sepi  dalam ruang kelas. Emprit berkicau indah lewat pepohonan rindang dekat kelasku. Aku mendatangi adinda  dengan perasaan banyak duga.

“Heh…pasti itu si badut. Yang bisa membuatnya terlihat seperti manusia gila” grutuku menduga

“Pasti Ronal ya?” tanyaku padanya memastikan. Diikuti laju wajah yang menyirat penuh tanda tanya.
“Hehehe……”    jawabnya singkat, tak ada embel-embel lain. Namun telah menjelaskan semuanya.

Ia ceritakan dirinya dan Ronal.  Bahwa mereka adalah teman biasa, namun karena terbiasa, rasa yang  susah di jelaskan itu muncul di kedalaman jiwa gadis itu, dan semakin hari, semakin waktu bertambah kuat. 
Adinda adalah gadis yang manis dan sangat cantik. Ia dikaruniai perasaan yang mudah terbawa sejak berumur lima tahun. Tersakiti sedikit, langsung emosi. Dapat dikatakan teraumatik dalam hidupnya di masa lalu, hingga mencetak karakter dirinya, sampai terbawa hingga ia dewasa. Dan si Ronal adalah lelaki yang cocok untuk dirinya. Karena dia memiiki silatan lidah yang membangun, peka terhadap sesuatu, dan mudah memahami orang lain. Sehingga ia dapat melerai emosi Adinda ketika sedang tumbuh kuat. Dan lidah tak bertulang itu mampu membangun rintihan sedih manusia-manusia lain. Namun tidak untuk orang sepertiku, mungkin.

“Mana ada orang seperti dia mau memahami orang gila seperti ku. Yang sukanya menghayal, menghadap kaca mengungkap objeck dengan subjectifitas apa adanya tanpa dusta. Suka menyediri. Dan yang paling konyol adalah tiba-tiba triak sendiri ditaman yang sepi.”  Narasi hatiku bersimpuh ramai di kedalaman jiwa.

 Adinda sangat mudah mengenal dan bergaul dengan orang lain. Mungkin hal itu juga, yang membuat badut Ronal mudah dekat dengannya dan merasa nyaman bersamanya.

                                                                  ***

Setiap hari emprit mengeluarkan suara merdunya. Tak terdengar sedikitpun oleh gendang telingaku.
Jarum jam yang berdentak, tak ku gubris sedikitpun bergulirnya.  Parahnya lagi. Dunia yang kuciptakan, kini porak-poranda di acak-acak si bandut yang menjengkelkan itu. 

“Namun aku menyayanginya” simpulku dalam kekalutan

Aku buta, aku buta, aku buta.  Tetes air hujan, basahnya ku biarkan berlalu begitu saja. Rumput yang indah nagkring di selokan tak aku hiraukan tariannya.

Hanya si badutlah yang terfikirkan. Wajahnya tampan menawan, hidung mancung,  kerut wajahnya menggambarkan kegigihan. Sorot matanya penuh kasih sayang. Hanya ia seorang yang selalu terbayang. Sedang yang alam semesta, tertutupi indahnya, hanya karena badut menjengkelkan itu, selaksa uang seribu yang ditempelkan di jidat lalu gunung yang sebesar Mont everets tidak terlihat karena mata tertupinya.

Aku hilang. Aku gelap, aku buta, tapi hangat,tapi terpenjara, tapi sakit
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA”.  Teriakku

Hingga aku sadarkan diri dari lamunan panjangku semalaman suntuk di loteng, dengan jendela terbuka lebar-lebar agar alam memberi energi baik untuk jiwa porak-porandaku. Malam menjelang pagi, ditandai dengan warna langit-langit yang tercurah, dan sijago merah, dengan membusungkan dada ia keluarkan suara khasnya. Kaset vcd otakku  yang ku putar kembali, telah terhenti dari memutar video-video lalu tentang berangan, si badut ,Adinda.

“OH sungguh tidak normal kah aku ini. Berkhayal terlalu keterlaluan.” Gumamku sedikit keras di ruang sunyi senyap dan jauh dari manusia.

Adinda, Ronal…….   ah siapa mereka……  sudah membuatku gila.

“AKu lelah. MEmikirkan si badut itu. Ia melahap waktu dan detikku.”

Sang pentir sungguh pengertian. Ia menyambar tajam, beriringan hujan di pagi yang menderas. Burung emprit yang caper minta ku perhatikan kini sedang tidak lewat. Beruntung aku, karena selamat dari rasa kecewa si burung munyil. Sekarang aku bisa berteriak menyalak tanpa ada yang mendengar.

“AKu kupu-kupu. Yang terlelap di dalam kepompong.  Hangat, yang penuh cinta, gelap tapi bahagia. Terpenjara tapi aku memilih untuk terpenjara. Disisi lain aku menutup mata. Aku menutup mengerti. Di luar kepopong ini ada banyak hal jauh lebih indah dari semua ini. Tapi aku memilih terpenjara. Dalam kegelapan hangat, yang tiada arti untuk di pertahankan.

Lalu aku mulai kedinginan. Aku mulai ketakutan, aku jadi cemas. Aku aku…..aaaaa     aku tidak kuat lagi. Kehangatan ini menjadi dingin yang menusuk. Rasanya tubuh ini di cabik-cabik pisau. Sungguh sakit sekali.

Lalu ,dengan taring kecilku. Aku grogoti dinding-dinding kepompong ini. Senada dengan rasa sakit ku yang semakin dalam.

Hingga membentuk celah sedikit-demi sedkit.  Dan kurobek paksa hingga membentuk lubang yang cukup besar untuk aku lewati.

Lalu aku melompat ke atas, menengok keluar dinding kelam itu. 

Ohhhh…indahnya. Cahaya surya berbinar , menerangi bumi cinta. Pepohonan rindang berpose memukau. Daun berguguran berceloteh riang. Angin yang berhembus menyambutku dengan belaian.”  Ocehan dengan gerakan teaterikal senada mimik yang totalitas menkembang kerutkan wajah.

“Aihhh…Rasa sakit itu kian memudar. Ketika aku telah mensadari banyak hal, setelah aku keluar dari kepompong. Sekarang aku bisa melihat kembali. Melihat dunia yang indah, mensadari yang jarang aku sadari

Aku rela kau dengan Adinda. Dia lebih membutuhkan mu dalam kehidupannya. Dan akan aku biarkan diriku bermesraan dengan duniaku demi pengharapan esok yang jauh lebih baik”
                Monolog kepasrahanku di ramainya hujan berkelebat. Aku ikhlaskan semuanya.  Cukup membuatku lebih baik dari sebelumnya. Mempertahankan badut adalah suatu kesahalan dan keberhentian dari hal yang lebih baik. Karena aku berharap pada sesuatu yang tiada kepastian hingga segala yang masih patut diperhatikan nan diperjuangkan harus terhenti karena si badut gila itu.
               
Biarkan aku menjelma menjadi seperti kupu yang telah berhasil keluar dari kepompongnya. Berkelana memandang.

Dan aku yaqin, bahwa tentu saja waktu tidak peka. Tentu saja waktu tidak merasa.
Waktu tidak memandang bahagia juga duka. Ia menelan bulat-bulat itu semua dengan bergulirnya. Namanya yang selalu mengetuk hati dan wajahnya selalu terbayang, biar raip dengan sendirinya  senada dengan berjalannya waktu.
Aku rela, dan aku biarkan diriku mempulihkan diri dari butaku…….    

“Hahahaha dasar cinta monyet”  hati berbicara lirih

“Oke…Detik-detik lalu adalah detik cinta yang hanya aku seorang yang tahu. Biarkan detik ini menjadi awal baru.” Aku berkoer-koer, dikeramaian  hujan, di dalam kesepiannya hati

“Asrael.  Tidurlah nak. Malam sudah sangat larut. Janganlah engkau  menonton tv terus”  Teriak ibu benar-benar membangunkanku dari terbayangku.

Mataku perih. Efek terlamun kepanjangan pada bibir-bibir khayal .

“SIapa yang nonton tv , buk?” Gumamku lirih

Ku matikan tv yang daritadi menontonku duduk termanggu tanpa kata. Yang ada hanya wajahku yang tiba-tiba kusut, tibat ceria tanpa nada,kata juga suara.
  
Pergi kemar, berdo’a memejamkan mata. Menutup buku diari yang selalu kupegangi dari awal tv memandangiku hingga tv memejamkan mata merahnya.
“Oke,   aku sudah siap move on.  Sepertinya diriku sudah sangat jauh lebih baik oleh pengertian Rela. Da da badut.  Aku akan melupakanmu dengan tidak mencoba melupakanmu. Aku yakin daun bergururan jauh lebih indah daripada hanya menyenandungkan mu dalam anganku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...