Saat kulewati perempatan. Ada sosok lelaki kecil kesakitan
di emperan rumah kawannya.
Matanya melinangkan air dengan pelit, sebab bersih kukuh
untuk menahan tangisnya agar tak keluar memandang kehidupan, karena
kawan-kawannya jahil. Membuli dirinya
cengeng.
Dalam keseharian, dia seorang yang kuat dan merasa berkuasa
di antara kawan-kawannya. Seolah, dia yang paling pantas memduduki panglima
perang di banding kawan lainnya, Karena keberaniannya dan kekuatannya dan berjiwa
seorang pemimpin.
Tapi hari ini ia tersungkur kelantai dengan kesakitan. Di
tengah kawan-kawannya.
Aku dekatinya bertanya pada yang lain tentang apa gerangan
yang terjadi padanya.
“menangislah…. Tak perlu malu dan
sungkan meneteskan air mata. Meski engkau seorang lelaki sekalipun.karena bila
tangis itu engkau tahan, kan berdampak sakit dalam dirimu” suaraku mengalun,
membelah sunyi untuk dirinya dan
kawannya yang mendengarkan.
Kawan-kawan sebayanya mengerti apa yang kukatakan hingga
mereka tak lagi mencengengkan temannya ini. Dan membiarkannya menangis atas
sakitnya.
Tangis yang ia tahan memekak tenggorokannya, ia alirkan
lewat tetes-tetes air yang mulai menderas membasahi kulit wajahnya. Sedangkan
aku hanya terpaku menatap dan hanya sekedar mengais-ngais rambut di kepalanya.
“Tak apa. tak usah malu. Menangislah.
Jika hal itu jauh lebih membuatmu tenang.” Ujar ku padanya.
“Tak apa menangislah, tak perlu
ditahan. Ketika kau sudah tenang akan kuantar engkau pulang ke rumahmu”
Setelah beberapa detik berlalu, ia jauh lebih tenang dari
rasa sakitnya, walau masih menyisakan isak tangis yang mencekat suaranya.
Aku hantarkannya
pulang ke rumah. Dan kulihat ia masuk kerumahnya dengan kegagahan serta
kedewasaannya.
Tangis bukan lampiran cengeng pada diri seseorang. Entah itu
lelaki atau wanita. Tetapi ia menyusun kekuatan dalam dirinya tuk menghadapi
masalahnya.
Menangislah!, tak perlu ku berhentikan atau ku lenakannya
dengan hal lain seperti mempelihatkan kodok atau kadal yang tak ada. Atau
memberikan sesuatu untuk alasan agar ia berhenti dari tangisnya.
Biarkan ia menangis, cukup dekap dan temani saja. Dan
biarkan ia sendiri yang menyelesaikan semuanya.
Agar ia tak terbiasa menyalahkan orang lain atas
kesalahannya, saat bila, memilih diam dari membohonginya tentang kadal dan kodok yang locat yang tidak ada, juga tidak menjotos
suatu batu yang membuatnya menangis karena tersandung olehnya.
Agar ia tak bergantung pada orang lain. Dan belajar
menyelesaikan masalahnya sendiri.
“Jangan suruh aku memberhentikan
tangisku. Biarkan aku berhenti dari tangisku sendiri” SImpuhku menyimpulkan dalam
diam, teringat masa itu
Aku pernah mendengar cerita, tentang pamanku. Beliau tak memperhentikan tangis
anaknya. Ia hanya menggendong, merangkulnya, dan menemaninya. Dan hal itu, membuat sang anak tubuh paling dewasa,
diantara teman-teman sebayanya.
Ia melerai pertikaian tanpa memilihak salah seorang dari
kedua belah pihak. Ia mengambil jalan di mana keduanya bisa kembali akur.
“SUngguh dewasa sekali anak ini”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar