Rabu, 12 Februari 2014

Tangis




Saat kulewati perempatan. Ada sosok lelaki kecil kesakitan di emperan rumah kawannya.
Matanya melinangkan air dengan pelit, sebab bersih kukuh untuk menahan tangisnya agar tak keluar memandang kehidupan, karena kawan-kawannya jahil. Membuli  dirinya cengeng.

Dalam keseharian, dia seorang yang kuat dan merasa berkuasa di antara kawan-kawannya. Seolah, dia yang paling pantas memduduki panglima perang di banding kawan lainnya, Karena keberaniannya dan kekuatannya dan berjiwa seorang pemimpin. 

Tapi hari ini ia tersungkur kelantai dengan kesakitan. Di tengah kawan-kawannya.
Aku dekatinya bertanya pada yang lain tentang apa gerangan yang terjadi padanya.

“menangislah…. Tak perlu malu dan sungkan meneteskan air mata. Meski engkau seorang lelaki sekalipun.karena bila tangis itu engkau tahan, kan berdampak sakit dalam dirimu” suaraku mengalun, membelah sunyi  untuk dirinya dan kawannya yang mendengarkan.

Kawan-kawan sebayanya mengerti apa yang kukatakan hingga mereka tak lagi mencengengkan temannya ini. Dan membiarkannya menangis atas sakitnya.

Tangis yang ia tahan memekak tenggorokannya, ia alirkan lewat tetes-tetes air yang mulai menderas membasahi kulit wajahnya. Sedangkan aku hanya terpaku menatap dan hanya sekedar mengais-ngais rambut di kepalanya.
“Tak apa. tak usah malu. Menangislah. Jika hal itu jauh lebih membuatmu tenang.” Ujar ku padanya.
“Tak apa menangislah, tak perlu ditahan. Ketika kau sudah tenang akan kuantar engkau pulang ke rumahmu”

Setelah beberapa detik berlalu, ia jauh lebih tenang dari rasa sakitnya, walau masih menyisakan isak tangis yang mencekat suaranya.
   
Aku hantarkannya pulang ke rumah. Dan kulihat ia masuk kerumahnya dengan kegagahan serta kedewasaannya.

Tangis bukan lampiran cengeng pada diri seseorang. Entah itu lelaki atau wanita. Tetapi ia menyusun kekuatan dalam dirinya tuk menghadapi masalahnya.

Menangislah!, tak perlu ku berhentikan atau ku lenakannya dengan hal lain seperti mempelihatkan kodok atau kadal yang tak ada. Atau memberikan sesuatu untuk alasan agar ia berhenti dari tangisnya.

Biarkan ia menangis, cukup dekap dan temani saja. Dan biarkan ia sendiri yang menyelesaikan semuanya.
Agar ia tak terbiasa menyalahkan orang lain atas kesalahannya, saat bila, memilih diam dari membohonginya  tentang kadal dan kodok  yang locat yang tidak ada, juga tidak menjotos suatu batu yang membuatnya menangis karena tersandung olehnya.

Agar ia tak bergantung pada orang lain. Dan belajar menyelesaikan masalahnya sendiri.

“Jangan suruh aku memberhentikan tangisku. Biarkan aku berhenti dari tangisku sendiri” SImpuhku menyimpulkan dalam diam, teringat masa itu

Aku pernah mendengar cerita, tentang  pamanku. Beliau tak memperhentikan tangis anaknya. Ia hanya menggendong, merangkulnya, dan menemaninya. Dan  hal itu, membuat sang anak tubuh paling dewasa, diantara teman-teman sebayanya.

Ia melerai pertikaian tanpa memilihak salah seorang dari kedua belah pihak. Ia mengambil jalan di mana keduanya bisa kembali akur.

“SUngguh dewasa sekali anak ini”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...