Kamis, 20 Februari 2014

Tetes air




Ini desaku….  Desa tempat aku berada sejak kecil hingga saat ini.
Alam yang tercurah adalah keindahan. Hawa yang terberikan tak terlalu panas juga tak terlalu dingin yang tersaji.

Sawah hijau dengan segala padinya yang tegap berdiri menghadap langit, selaksa meminta pengayoman untuk kehidupan mereka.

Senjanya di tanah ini, menghadirkan cahaya mentari yang lembut, membelai yang hidup dan mati di pedesaan ini

Air yang ada sangat tercurah berlimpah menghidupi.

Aku lihat keran kecil yang menempel pada dinding kelam. Bibir munyilnya telah tertutup, tapi tetes demi tetes air terus keluar perlahan-lahan dan mengalir ke got, begitu sia-sia.

Tempat yang kududuki ramai sekali. Banyak canda tawa yang terumbar dari suara-suara mereka.
Tapi, mataku, alihkan pada kesia-siaan itu. 

Ada tetes air yang menetes secara terus menenerus. Hal ini menjadi biasa dan tidak ada seorang pun yang menginginkannya, sebab keberlimpahan dan kenyaman yang telah tersedia ini.

Coba…  tetes air itu  berada di tengah padang pasir yang terik sang mentari membakar buminya.

Maka semua mata kan tertuju padanya.

Yang semula tetesan yang ada hanyalah kesia-siaan, disini ia jadi rebutan, bahkan harapan kehidupan.
Kerongkongan yang kering kerontang tak terkira, membuat tangan-tangan membelai leher mereka sendiri. Dan menelan ludah yang semakin mengering.

Keringat bercucuran dari kerlingan jidat-jidat mereka.
Rasanya pasti ingin melahap tiap tetesan-tetesan itu..
Tapi, rasa solidaritas mereka sangat tinggi seingga budaya antre di tegakkan walau nafsu-nafsu haus mereka 
telah menghantui dan siap mencekam benda paling berharga.

Menadahi satu persatu hingga terisi penuh gelasnya, dan bergantian terus, satu dengan yang lain.
Ketika air yang telah dimiliki penuh, ia meminumnya  diikuti tebaran kesegarannya. Dalam seketika rasa harus itu menghilang di guyur kesegaran tetes-tetes nya air.

Meski ia meminumnya, tetesan air yang terus-menerus tercurah, tidak akan terbuang sia-sia. Kerena manusia silih berganti berdatangan untuk menadahi air yang selalu menetes di gelas-gelas mereka.

Bahkan ketika gelas telah bersiap siaga menadahi air yang menetes, gelas yang lain pun berjaga-jaga berada di bawah gelas yang menunggu, agar bila ternyata gelas teratas berlubang, air kan jatuh ke gelas dibawahnya, supaya ia tak jatuh ke tanah dan mengering sia-sia

“JIka ada yang merasa sia-sia, maka sesugguhnya ia kan menjadi sesuatu yang berharga pada situasi yang lain dari kesia-siannya” cari berhargamu di tempat lain bila tempat yang kau tempati sudah penuh dengan ketersediaan. Yang para manusia memincingkan mata sekalipun cobalah datangi, mungkin hadirmu adalah hal yang dibutuhkan disana. Walau hanya sekedar mengedarkan air di tengah padang pasir pada musafir-musafir yang berjalan dengan ludah yang telah mongering”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...