Ini desaku…. Desa
tempat aku berada sejak kecil hingga saat ini.
Alam yang tercurah adalah keindahan. Hawa yang terberikan
tak terlalu panas juga tak terlalu dingin yang tersaji.
Sawah hijau dengan segala padinya yang tegap berdiri
menghadap langit, selaksa meminta pengayoman untuk kehidupan mereka.
Senjanya di tanah ini, menghadirkan cahaya mentari yang
lembut, membelai yang hidup dan mati di pedesaan ini
Air yang ada sangat tercurah berlimpah menghidupi.
Aku lihat keran kecil yang menempel pada dinding kelam.
Bibir munyilnya telah tertutup, tapi tetes demi tetes air terus keluar
perlahan-lahan dan mengalir ke got, begitu sia-sia.
Tempat yang kududuki ramai sekali. Banyak canda tawa yang
terumbar dari suara-suara mereka.
Tapi, mataku, alihkan pada kesia-siaan itu.
Ada tetes air yang menetes secara terus menenerus. Hal ini
menjadi biasa dan tidak ada seorang pun yang menginginkannya, sebab
keberlimpahan dan kenyaman yang telah tersedia ini.
Coba… tetes air
itu berada di tengah padang pasir yang
terik sang mentari membakar buminya.
Maka semua mata kan tertuju padanya.
Yang semula tetesan yang ada hanyalah kesia-siaan, disini ia
jadi rebutan, bahkan harapan kehidupan.
Kerongkongan yang kering kerontang tak terkira, membuat
tangan-tangan membelai leher mereka sendiri. Dan menelan ludah yang semakin mengering.
Keringat bercucuran dari kerlingan jidat-jidat mereka.
Rasanya pasti ingin melahap tiap tetesan-tetesan itu..
Tapi, rasa solidaritas mereka sangat tinggi seingga budaya
antre di tegakkan walau nafsu-nafsu haus mereka
telah menghantui dan siap
mencekam benda paling berharga.
Menadahi satu persatu hingga terisi penuh gelasnya, dan
bergantian terus, satu dengan yang lain.
Ketika air yang telah dimiliki penuh, ia meminumnya diikuti tebaran kesegarannya. Dalam seketika
rasa harus itu menghilang di guyur kesegaran tetes-tetes nya air.
Meski ia meminumnya, tetesan air yang terus-menerus
tercurah, tidak akan terbuang sia-sia. Kerena manusia silih berganti berdatangan
untuk menadahi air yang selalu menetes di gelas-gelas mereka.
Bahkan ketika gelas telah bersiap siaga menadahi air yang
menetes, gelas yang lain pun berjaga-jaga berada di bawah gelas yang menunggu,
agar bila ternyata gelas teratas berlubang, air kan jatuh ke gelas dibawahnya,
supaya ia tak jatuh ke tanah dan mengering sia-sia
“JIka ada yang merasa sia-sia, maka sesugguhnya ia kan
menjadi sesuatu yang berharga pada situasi yang lain dari kesia-siannya” cari
berhargamu di tempat lain bila tempat yang kau tempati sudah penuh dengan
ketersediaan. Yang para manusia memincingkan mata sekalipun cobalah datangi,
mungkin hadirmu adalah hal yang dibutuhkan disana. Walau hanya sekedar
mengedarkan air di tengah padang pasir pada musafir-musafir yang berjalan
dengan ludah yang telah mongering”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar