Sabtu, 23 Agustus 2014

Ucapan


Sapda apa yang ingin ku raih untuk memberi kesegaran sukma ini. Atau sebenarnya gelisah ini adalah kekuatan?

Menjadi manusia memang tak semudah kata itu sendiri. Ke esensiannya memberi banyak celah untuk setiap diri memberi pemaknaannya dan memberi kesempatan untuk berbeda .

Tapi kadang aku menggugat bosan, kadang aku menggugat kesedihan dan kegelisahan, dan tenggelam dalam kebersenang-senangan, tapi ternyata semua itu adalah perjalanan untuk mencipta diri yang terjadi untuk saat ini.

Kebosanan menjadi kata untuk berlatih tetap setia, sedang gelisah untuk membuat keterkuatan dan keterbangkitan dan bersenang-senang untuk sekadar hiburan. Maka hati carilah kesegaranmu pada tempat-tempat yang kau mau…..  

“Kau boleh pilih bosan, gelisah, sedih atau bahagia”

Ini ucapan…

Senin, 18 Agustus 2014

Ada apa manusia?.


Alamku kadang mengutukmu karena ia adalah aku bagian darinya. Kadang aku terlalu ingin bertangis padanya.
Melihat goresan wajahnya membayangkan betapa kata-kata yang berada pada awang-awang kepalanya terlalu banyak dan tak berbentuk . sangat miskin dan kebingungan  bila harus kurupakan warna-warninya.

Sapda ku tak tercipta karena kemiskinan kata yang ingin ku garap, Tapi ia menjadi gumpalan rasa yang mencubit-cubit dalamku. Degupnya ku berandai jantung, namun ia seperti nyanyian yang perih.

melihat wajah manusia yang terdiam dengan tanda goresan di wajahnya aku ingin mentangis.....   karena "ada apa manusia?"

Semut dan manusia



Hari ini matahari berbinar cerah pancarannya. Kanvas langit berwarna biru laut mebentang pada atap bumi tanpa tiang penyangga. Namun hari ini hatiku sedang kalut entah mengapa. Rasanya ingin meratap manja, atau hanya diam diri merasakan kegelesihannya. Bagaimana aliran sedih yang menggumpal tersalurkan lewat darah. Lalu darah menyentuh setiap  organ tubuh membawa pesan adanya, tanpa harus berkata dan memberi tahu bahwa kesedihan sedang menjelma, mata, fikiran, nafas, pendengaran semua mengerti hanya dengan merasakan alirannya. Bahkan perhatiannya kian tertuju padanya.

“Oh….  Sedih, berkutat dalam sekujur tubuh” grutu ku sambil memasang muka masam pada keceriaan semesta.

Aku hanya duduk di pangkuan kursi ruang tamu. Di hadapanku ada meja bundar yang di atasnya terdapat dua gelas kaca yang berisikan teh berwana coklat gelap sisa dari tamu kemarin yang datang berkunjung. Si semut sudah tak lagi menggerombol pada dinding kaca untuk merauk kesegaran airnya . Yang ada hanya bangkai-bangkai mayat semut yang melayang di dalam air nya.

Meski tak seramai waktu-waktu pertama teh itu ada, tetap ada para semut yang menghampirinya. Meski Semut-semut yang ada hanya melewati sisi gelas, ada yang hanya menengok saja lalu pergi.

Rasanya mataku semakin tajam melihat para semut itu. Hingga jelma kesedihan hilang perhatian.

Yang tak habis ku fikir, mengapa ada yang mencelupkan dirinya ke dalam teh hingga mati mengapung, lalu tenggelam sampai akan menyentuh dasar yang di ramaikan dengan pasir gula-gula putih. Dan semut-semut itu melayang dalam kematian.
Dalam benak ku timbul Tanya.
               
 “BAgaimana perasaan para semut yang melewati dan melihat kawannya bergelantungan mati?” Hatiku sibuk berbicara
               
 “Apa ia juga akan melakukan hal yang sama. Menjeburkan diri?”
APa mungkinkah, hal seperti itu sudah biasa bagi mereka, karena mungkin mata-mata mereka sudah sangat terbiasa melihat teragedi seperti itu.
              
  TIdak seperti diriku, kala kehilangan kucing kesayanganku, Bagong. Satu kematian saja sudah membuatku sesak dan hilang selera makan. Bahkan kematian itu sendiri membayangi diriku seandainya akulah yang berada dalam kematian.
               
 “Maka untuk apa aku berani hidup bila aku tak berani mati” Hati ku terceletuk efek nonton si semut yang dengan santainya melihat kematian.

Si semut yang lewat seolah memberi kabar. Keterbiasaan melihat kematian menjadi suatu hal yang biasa. Dan kesantaiannya berjalan seraya melihat kawan-kawannya melayang dalam kematian adalah pertanda ketidak takutan dalam menghadapi kematian.

Maka aku terperanjat, lalu menghampiri bagong yang hanya ku letakkan dekat dapur. Karena untuk menguburnya saja rasanya tak tega dan terlalu sayang walau ibu sudah berulang kali menyuruhku untuk menguburnya, tetap saja tangan ini enggan melalakukannya. Maka dalam hatiku ku paksakan aku harus menguburnya dan merelakan jasadnya bersatu dengan alam.

Kugali lubang belakang rumahku lalu megkubur si bagong gendut dengan tanah hasil galian. Dengan merintih aku berucap lirih.

“Masak kalah sama si semut”  seolah kata sebagai tepukan dada

Tatapan jujur Dahliya



Kutilang tak pernah tersenyum apalagi menyuarakan bunyinya. Jejak di pepohonan saja tak memberi bekas lekukan kakinya.karena Dahliya tak pernah tahu seperti apa kutilang itu. Warna bulu yang ia kenakan, apalagi suara kicauannya. Bahkan bila pun ia hinggap di pohon dekat si gadis kencana itu maka tak kan dinyana bahwa yang berhinggap itu sikutilang.

Dahliya berdiri anggun di samping rumahnya dekat jalan. Ia tak pernah jenuh memandangi kawula santri yang sering kali berkelebatan melewati lantai-lantai bersih pondok. Kadangkala kalau para santri berbaik hati, ia kan memanggil Dahliya dengan rengekan senyum yang membuntuti.

“Hay…..” ucap Dahliya atas panggilan itu dengan melambaikan tangannya ke udara.

  Gadis itu mengamati kembali sosok-sosok wajah tampan yang berlalu lalang, meski ada beberapa lelaki istimewa dalam lubuk hatinya yang selalu ia tunggui kehadirannya. Meski hanya melihatnya saja tanpa tutur sapapun, maka itu lebih dari cukup. Meski ratapan dalam hatinya beremosi ingin memanggil namanya. Apalagi berbicara.

SI Dahliya, sering kali menjadi buah bibir orang-orang di desanya. Dan para perantau yang tinggal di penjara suci di Desa itu.

Kala maghrib menjelang, tubuhnya kan meraih air yang bersimbah kesucian. Lalu dia guyurkan ke wajah dan tangannya air bening itu, memberi usapan sedikit ke rambutnya, hingga periode ahir dia gerujuk kakinya. Tetes demi tetes air tilas peyucian, mengalir membawa lumuran dosa, bila memang ia mempunyai dosa.
Mukena putih pakaian kesetaraan ia kenakan. Dengan langkah yang mantap ia melangkah beberapa jangkah menuju masjid terbesar di Desa dekat rumahnya. Matanya tak lantas berdiam diri. Ia tetap mencari-cari sang pengistimewa hati dalam lalulalang para santri. Pun tak selalu tertangkap matanya, gerak tubuh itu.

Ketika tubuhnya telah berhasil memasuki rumah peribadatan suci, tak jengah ia tetap menatapi.

Ia tak seperti halnya gadis biasa. Yang harus sok suci menyembunyikan pandangannya, yang sebenarnya  acapkali mencuri-curi pandang dalam peluang yang longgar. Dahliya gadis yang jujur dan to the point dalam pandangannya.

Gerumunan para sanri putri telah memasuki kawasan yang istimewa,yang  ketika telah tertanam niat dalam hati beri’tikaf, maka pahala bisa bergelantungan untuknya.

Tapi seringkali rumah suci itu menjadi ajang pengumbar kotor. Ucap demi ucap memenuhi mulut mereka dengan tema si Dahliya, yang suka berbicara sediri dengan kejujuran pandangannya. Tak hanya sekedar pembicaraan banyolan sampah, tapi tawa remeh untuk si gadis mulia itu ia sembunyikan dalam bisikan-bisikan keji mereka.

Sungguh keji tindakan itu, tapi untuk Dahliya.
“Apa urusannya itu padaku. Aku tak peduli”

Seolah ini bahasa untuk sikapnya yang tak pernah memberi tatapan penuh hasrat benci pada si pengumbar cerita.

Ataukah sebenarnya ia tak pernah menggubris kata-kata banyolan dan tawa tengik itu, seperti halnya ia tak pernah memerhatikan si kutilang?.

Ikomat telah membelah petang yang semakin ditelan malam.
Berbaris-baris para manusia memenuhi saf-saf yang masih kosong.

Dahliya ambil posisi pada barisan rada mendekat dengan pintu yang memberi celah untuk pandangan jujurnya. Namun jarang sekali ada yang mau berbaris dekat Dahliya, kecuali kalau terjadi kekepet yang amat sangat . Dan tetap seperti biasa si Dahliya tak menggubrisnya seperti burung kutilang.

Suatu ketika Afra, gadis manja pada wajahnya namun kekar jiwanya dalam menghadapi perjalanan hidup, ia bersengaja memilih baris berdekatan dengan Dahliya tanpa ada rasa jijik dan dan banyolan menghujat.
Tingginya sedang, kulitnya putih bercorak coklat sawo, tertutupi mukena putihnya. Tak di nyana tatapan jujur Dahliaya pada sela pintu, ternyata tak seperti acuhnya pada kutilang. Ia langsung memberikan senyum tersuci dalam pandangan Afra petang ini.

Usai sembahyang dengan zhikir yang telah berlalu, beserta do’a dari imam telah selesai di ucapkan, salaman antara satu dan yang lain yang berdekatan dilakukan. Ketika tangan Afra meraih tangan kecil Dahliya, tangan itu tak hanya berisi kering kerontang dari kulitnya dan dangingnya yang semakin mengikis kecil, namun dalam mulutnya memberi suara untuk gadis berwajah manja itu sambil tangannya mengayunkan dekapnya.

“Kau memang sahabatku” dengan senyuman tanpa ada yang dibuat-buat.

Afra hanya tersenyum dan kaget mendengar tutur itu. Tak nyana ia dengar itu darinya. Hingga dalam lubuk hatinya yang sering memandangi orang-orang yang memberi kesan buruk dan banyolan kotor tentang Dahliya, mengutuk sengit .
              
  “DAsar orang-orang sok normal. Menggunakan mulutnya untuk menertawai gadis polos ini”

Mau bagaimana lagi. Ia memang terlahir dengan takdir seperti itu. Entah apa yang di deritanya. Keterlambatan dalam berfikir, atau ada kesalahan dalam saraf atau otaknya. Namun bukan berarti para manusia yang menyandang cap normal boleh memburuki dan Mencemoohi dari belakang.
               
 “Dan bisa jadi ia lebih mulia dari para pengumbar yang memberi cela pada kisah tentang si Dahliya ”

                ***
Bel sekolah malam telah berbunyi menggema pada malam.
                 
Afra menuju madrasah untuk menimba ilmu agama. Saat sampai pada lantai madrasah itu, matanya menilik ke dekat rumah Dahliya, dan tergambar jelas Dahliya berdiri di situ seperti sedia kala tanpa memerhatikan apakah ada kutilang yang mampir di pohon dekatnya berdiri. Dengan membawa segudang pandangan jujurnya.
               
 Dahliya tak lalay seperti pada kutilang, ia teriak dan melambai untuk Afra.

“Hay……”. Suranya memberi warna untuk malam. Dan kain putih kesetaraan tilas sembahyang maghrib masih ia kenakan untuk bersiap siaga sembahyang isa’ yang kan datang.
               
 Gadis berwajah manja itu hanya tersenyum dan tak merasa jengah dengan tingkah si Dahliya.  dirinya tak merasa yakin bahwa wanita polos bertubuh kecil itu kan ternodai dosa oleh sebab mata jujurnya.
             
   “DIa istimewa. Setidaknya bukan untuk para manusia yang berlidah cabang bila Di depannya memberi dukungan, di belakang menusuk, namun semoga dia istimewa dalam pandangan-Nya”

 Ya ….. itulah kesehariaan Dahliya…  yang sering tertangkap mata di wajah manja Afra .

Menegaskan keheningan

Terkadang ucapku mencipta kekakuan, mencipta keheningan, kedinginan. Keramaian tiba-tiba bungkam sekejap bila nadaku berucap, hingga terdiam bisu terkadang menjadi sandaranku untuk waktu-waktu yang tertepatkan.

Ramai, pertanda ada kehidupan. "Saling tertawa, mencaci untuk tertawa atas nama canda, cerewet, memberi letupan kata yang meletuskan suara riang selaksa mercon kembang api yang dilutut sumbunya akan membakar lalu menjelma menjadi suara dan warna yang indah menghiasi malam kelam.

ku lihat canda makian itu menjadi "Kasih sayang" yang menghidupkan ketegasan hening yang sering kali terpcipta.

TErkadang, terlalu bersalah menegaskan keheningan pada kasih sayang ini.

karena pada suatu sisi, aku memilih ber "kasih sayang" dalam alirannya bila nadaku bisa mencair pada "kasih sayangnya".

Kamis, 14 Agustus 2014

Tentang cinta

Berbicara cinta yang ku dengar dan ku tengok beberapa dari mereka.

Karna cinta hubungan seseorang bisa menjeda. Yang biasanya bisa tertawa bersama, bercanda bersama bisa terbungkam atas nama ia.

Karna cinta pertemanan bisa menjadi penuh benci karena kecemburuan atau karena sang dicintanya mencintai orang lain, dan orang lain itu adalah kawannya sendiri, maka kebencian bisa terjeratkan padanya.

Cinta adalah keindahan,   yang pahit seolah berasa manis,....   di sisi lain ia juga menjadi sesuatu yang menyakitkan......

seolah antara kebahagiaan dan kebencian menjadi saling beriringan

Selasa, 12 Agustus 2014

Berbagi

Manusia seringkali pilih kasih dalam berbagi.....

RUput tak berpilih untuk Berbagi dalam keterinjakannya. Bahkan sudah sampai pada tahap pengorbanannya.

Aku ingin menyapa bukan mengatas namakan perempuan atau laki-laki, Manusia.

Niatan bisa kadas mengatas namakan perempuan dan laki-laki. Di kiranya modus.....

Senin, 11 Agustus 2014

Mencuri untuk senja



Untuk kesekian kalinya aku mencuri waktu dari selayang pandang ibuku. Sambil berbisik lirih dalam getaran jiwaku “Hay alam, sebentar lagi aku akan menjemputmu untuk kepada tujuku”

merebahkan hati di belaian udara. Segerombol burung bertebangan di angkasa raya.

Si matahari sudah akan menenggelamkan dirinya tanpa mencoba mematikan dirinya walau sinarannya tertelan malam untuk beberapa jam.

Senja seringkali memberi cerita tentang petak umpetku dangan sang bunda.

Perbedaan dalam beberapa hal membuatku harus menghargai walau tetap berpegang pada pilihanku.

Senja, hari ini kau menang lagi. Kau memberi cerita untuk kesekian kalinya.  Dan wajahmu untuk hari ini sungguh sangat cantik dan tampan sekali.

Jumat, 08 Agustus 2014

Rindu

Terpental bisu. Menatap bosan. Suhu dimana suhu?, kota dimana kota?. Sungguh malasku menghirau karena kulupakannya bersama waktu dengan gulir.

Terjerembab satu rasa yang membuatku bungkam begitu gencar pesakitnya. Rantai belenggu dalam arti keperihan selalu siap menggesek-gesek belati nya dalam degup.

Itukah merindu?. Dalam satu nada aku kepayahan meradangnya, dalam satu yang lain aku membosan pada pada waktu pada fenomena yang sedang kutemui.

 "Dalamku tak sesunyi tatapanku . Karena Pertumpahan darah  sedang berapi di dalamnya."

Yang berasa perihnya, sambil kebosanan menatap.
"Cabikan lembut yang mematikan suasana, bahwa aku tenggelam dalam rindunya"


Kamis, 07 Agustus 2014

kata dan kehidupan

Jangan menutup telinga walau pada kata yang sama. Karna kata yang sama kan memberi makna yang dalam, semakin dalam seiring pengertian yang kita fahami. Bahkan, dapat memberi makna dengan cara yang berbeda.

MOnoton atau keterulangan kehidupanpun tampak membosankan, tapi jadikan ia bagai satu kata yang pertama kali terdengar walau sudah beribu-ribu kali pengulangan.Sisi keberbedaannya akan tertemukan dalamnya.

"Karena satu kata dan kehidupan memimiliki seribu atau bahkan lebih, makna dan cara.

menyayangi

Terlalu sayang juga berbahaya (keluarga, anak, kekasih, sahabat), bisa buta pada keadilan.

"Apa karena terlalu sayang, mau melumpuhkan apa yang seharusnya tegak berdiri?"

Lawan



Mentakuti diri, takut, adalah biang petaka, maka hadapi, lawan dengan berani. “selamlah bila takut berenang “

Hari ini




Matahari belum menjenguk bumi dengan tubuh bundar sempurnya.

Tapi kaki-kaki perintis masa yang terjerembab pada peradaban sudah melangkah lewati sorong-sorong jalan.

Rumah, sawah, angin bagai dijemput mata untuk disantapnya.

Keringat ingin segera terseka tangan, sambil genggamnya menunggu alirnya dengan berlari pada suatu tempat yang telah tertentukan.

Kebersamaanlah yang memacu untuk memberi langkah, sambil ingin bersaing mendahulu matahari.

Aliran air begitu lirih memberi suara, sambil mengumbar kenyamanannya pada tubuh yang bersimpuh pada tempat itu.

Perenang hadal dan tak handal sama-sama menceburkan diri. Membasahi tubuh tilas basah keringat.

Sambil kedinginan sambil kehangatan, uap-uap melayang dari tubuh dan baju-baju yang basah saat berjemur diri di hadadapan sang mentari.

Itulah kian sapa ku. Hanya membuat kata untuk menyimpan momenta, hari ini.


senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...