Senin, 04 Agustus 2014

Tatapan jujur Dahliya




Kutilang tak pernah tersenyum apalagi menyuarakan bunyinya. Jejak di pepohonan saja tak memberi bekas lekukan kakinya.karena Dahliya tak pernah tahu seperti apa kutilang itu. Warna bulu yang ia kenakan, apalagi suara kicauannya. Bahkan bila pun ia hinggap di pohon dekat si gadis kencana itu maka tak kan dinyana bahwa yang berhinggap itu sikutilang.

Dahliya berdiri anggun di samping rumahnya dekat jalan. Ia tak pernah jenuh memandangi kawula santri yang sering kali berkelebatan melewati lantai-lantai bersih pondok. Kadangkala kalau para santri berbaik hati, ia kan memanggil Dahliya dengan rengekan senyum yang membuntuti.

“Hay…..” ucap Dahliya atas panggilan itu dengan melambaikan tangannya ke udara.

  Gadis itu mengamati kembali sosok-sosok wajah tampan yang berlalu lalang, meski ada beberapa lelaki istimewa dalam lubuk hatinya yang selalu ia tunggui kehadirannya. Meski hanya melihatnya saja tanpa tutur sapapun, maka itu lebih dari cukup. Meski ratapan dalam hatinya beremosi ingin memanggil namanya. Apalagi berbicara.

Si Dahliya, sering kali menjadi buah bibir orang-orang di desanya. Dan para perantau yang tinggal di penjara suci di Desa itu.

Kala maghrib menjelang, tubuhnya kan meraih air yang bersimbah kesucian. Lalu dia guyurkan ke wajah dan tangannya air bening itu, memberi usapan sedikit ke rambutnya, hingga periode ahir dia gerujuk kakinya. Tetes demi tetes air tilas peyucian, mengalir membawa lumuran dosa, bila memang ia mempunyai dosa.

Mukena putih pakaian kesetaraan ia kenakan. Dengan langkah yang mantap ia melangkah beberapa jangkah menuju masjid terbesar di Desa dekat rumahnya. Matanya tak lantas berdiam diri. Ia tetap mencari-cari sang pengistimewa hati dalam lalulalang para santri. Pun tak selalu tertangkap matanya, gerak tubuh itu.

Ketika tubuhnya telah berhasil memasuki rumah peribadatan suci, tak jengah ia tetap menatapi.

Ia tak seperti halnya gadis biasa. Yang harus sok suci menyembunyikan pandangannya, yang sebenarnya  acapkali mencuri-curi pandang dalam peluang yang longgar. Dahliya gadis yang jujur dan to the point dalam pandangannya.

Gerumunan para sanri putri telah memasuki kawasan yang istimewa,yang  ketika telah tertanam niat dalam hati beri’tikaf, maka pahala bisa bergelantungan untuknya.

Tapi seringkali rumah suci itu menjadi ajang pengumbar kotor. Ucap demi ucap memenuhi mulut mereka dengan tema si Dahliya, yang suka berbicara sediri dengan kejujuran pandangannya. Tak hanya sekedar pembicaraan banyolan sampah, tapi tawa remeh untuk si gadis mulia itu ia sembunyikan dalam bisikan-bisikan keji mereka.
Sungguh keji tindakan itu, tapi untuk Dahliya.

“Apa urusannya itu padaku. Aku tak peduli”

Seolah ini bahasa untuk sikapnya yang tak pernah memberi tatapan penuh hasrat benci pada si pengumbar cerita.

Ataukah sebenarnya ia tak pernah menggubris kata-kata banyolan dan tawa tengik itu, seperti halnya ia tak pernah memerhatikan si kutilang?.

Ikomat telah membelah petang yang semakin ditelan malam.

Berbaris-baris para manusia memenuhi saf-saf yang masih kosong.

Dahliya ambil posisi pada barisan rada mendekat dengan pintu yang memberi celah untuk pandangan jujurnya. Namun jarang sekali ada yang mau berbaris dekat Dahliya, kecuali kalau terjadi kekepet yang amat sangat . Dan tetap seperti biasa si Dahliya tak menggubrisnya seperti burung kutilang.

Suatu ketika Afra, gadis manja pada wajahnya namun kekar jiwanya dalam menghadapi perjalanan hidup, ia bersengaja memilih baris berdekatan dengan Dahliya tanpa ada rasa jijik dan dan banyolan menghujat.

. Tingginya sedang, kulitnya putih bercorak coklat sawo, tertutupi mukena putihnya. Tak di nyana tatapan jujur Dahliaya pada sela pintu, ternyata tak seperti acuhnya pada kutilang. Ia langsung memberikan senyum tersuci dalam pandangan Afra petang ini.

Usai sembahyang dengan zhikir yang telah berlalu, beserta do’a dari imam telah selesai di ucapkan, salaman antara satu dan yang lain yang berdekatan dilakukan. Ketika tangan Afra meraih tangan kecil Dahliya, tangan itu tak hanya berisi kering kerontang dari kulitnya dan dangingnya yang semakin mengikis kecil, namun dalam mulutnya memberi suara untuk gadis berwajah manja itu sambil tangannya mengayunkan dekapnya.

“Kau memang sahabatku” dengan senyuman tanpa ada yang dibuat-buat.

Afra hanya tersenyum dan kaget mendengar tutur itu. Tak nyana ia dengar itu darinya. Hingga dalam lubuk hatinya yang sering memandangi orang-orang yang memberi kesan buruk dan banyolan kotor tentang Dahliya, mengutuk sengit .
  
              “DAsar orang-orang sok normal. Menggunakan mulutnya untuk menertawai gadis polos ini”

Mau bagaimana lagi. Ia memang terlahir dengan takdir seperti itu. Entah apa yang di deritanya. Keterlambatan dalam berfikir, atau ada kesalahan dalam saraf atau otaknya. Namun bukan berarti para manusia yang menyandang cap normal boleh memburuki dan Mencemoohi dari belakang.
             
   “Dan bisa jadi ia lebih mulia dari para pengumbar yang memberi cela pada kisah tentang si Dahliya ”

                ***
Bel sekolah malam telah berbunyi menggema pada malam.
             
   Afra menuju madrasah untuk menimba ilmu agama. Saat sampai pada lantai madrasah itu, matanya menilik ke dekat rumah Dahliya, dan tergambar jelas Dahliya berdiri di situ seperti sedia kala tanpa memerhatikan apakah ada kutilang yang mampir di pohon dekatnya berdiri. Dengan membawa segudang pandangan jujurnya.

                Dahliya tak lalay seperti pada kutilang, ia teriak dan melambai untuk Afra.
“Hay……”. Suranya memberi warna untuk malam. Dan kain putih kesetaraan tilas sembahyang maghrib masih ia kenakan untuk bersiap siaga sembahyang isa’ yang kan datang.
              
  Gadis berwajah manja itu hanya tersenyum dan tak merasa jengah dengan tingkah si Dahliya.  dirinya tak merasa yakin bahwa wanita polos bertubuh kecil itu kan ternodai dosa oleh sebab mata jujurnya.
  
              “DIa istimewa. Setidaknya bukan untuk para manusia yang berlidah cabang bila Di depannya memberi dukungan, di belakang menusuk, namun semoga dia istimewa dalam pandangan-Nya”
  
Ya ….. itulah kesehariaan Dahliya…  yang sering tertangkap mata di wajah manja Afra .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...