Hari ini matahari berbinar cerah
pancarannya. Kanvas langit berwarna biru laut mebentang pada atap bumi tanpa
tiang penyangga. Namun hari ini hatiku sedang kalut entah mengapa. Rasanya
ingin meratap manja, atau hanya diam diri merasakan kegelesihannya. Bagaimana
aliran sedih yang menggumpal tersalurkan lewat darah. Lalu darah menyentuh
setiap organ tubuh membawa pesan adanya,
tanpa harus berkata dan memberi tahu bahwa kesedihan sedang menjelma, mata,
fikiran, nafas, pendengaran semua mengerti hanya dengan merasakan alirannya.
Bahkan perhatiannya kian tertuju padanya.
“Oh…. Sedih, berkutat dalam sekujur tubuh” grutu ku
sambil memasang muka masam pada keceriaan semesta.
Aku hanya duduk di pangkuan kursi
ruang tamu. Di hadapanku ada meja bundar yang di atasnya terdapat dua gelas
kaca yang berisikan teh berwana coklat gelap sisa dari tamu kemarin yang datang
berkunjung. Si semut sudah tak lagi menggerombol pada dinding kaca untuk merauk
kesegaran airnya . Yang ada hanya bangkai-bangkai mayat semut yang melayang di
dalam air nya.
Meski tak seramai waktu-waktu
pertama teh itu ada, tetap ada para semut yang menghampirinya. Meski Semut-semut
yang ada hanya melewati sisi gelas, ada yang hanya menengok saja lalu pergi.
Rasanya mataku semakin tajam
melihat para semut itu. Hingga jelma kesedihan hilang perhatian.
Yang tak habis ku fikir, mengapa
ada yang mencelupkan dirinya ke dalam teh hingga mati mengapung, lalu tenggelam
sampai akan menyentuh dasar yang di ramaikan dengan pasir gula-gula putih. Dan
semut-semut itu melayang dalam kematian.
Dalam benak ku timbul Tanya.
“BAgaimana
perasaan para semut yang melewati dan melihat kawannya bergelantungan mati?” Hatiku
sibuk berbicara
“Apa ia
juga akan melakukan hal yang sama. Menjeburkan diri?”
APa mungkinkah, hal seperti itu sudah biasa bagi mereka,
karena mungkin mata-mata mereka sudah sangat terbiasa melihat teragedi seperti
itu.
TIdak
seperti diriku, kala kehilangan kucing kesayanganku, Bagong. Satu kematian saja
sudah membuatku sesak dan hilang selera makan. Bahkan kematian itu sendiri
membayangi diriku seandainya akulah yang berada dalam kematian.
“Maka
untuk apa aku berani hidup bila aku tak berani mati” Hati ku terceletuk efek
nonton si semut yang dengan santainya melihat kematian.
Si semut yang lewat seolah memberi
kabar. Keterbiasaan melihat kematian menjadi suatu hal yang biasa. Dan
kesantaiannya berjalan seraya melihat kawan-kawannya melayang dalam kematian
adalah pertanda ketidak takutan dalam menghadapi kematian.
Maka aku terperanjat, lalu
menghampiri bagong yang hanya ku letakkan dekat dapur. Karena untuk menguburnya
saja rasanya tak tega dan terlalu sayang walau ibu sudah berulang kali
menyuruhku untuk menguburnya, tetap saja tangan ini enggan melalakukannya. Maka
dalam hatiku ku paksakan aku harus menguburnya dan merelakan jasadnya bersatu
dengan alam.
Kugali lubang belakang rumahku lalu
megkubur si bagong gendut dengan tanah hasil galian. Dengan merintih aku
berucap lirih.
“Masak kalah sama si semut” seolah kata sebagai tepukan dada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar