Senin, 18 Agustus 2014

Semut dan manusia



Hari ini matahari berbinar cerah pancarannya. Kanvas langit berwarna biru laut mebentang pada atap bumi tanpa tiang penyangga. Namun hari ini hatiku sedang kalut entah mengapa. Rasanya ingin meratap manja, atau hanya diam diri merasakan kegelesihannya. Bagaimana aliran sedih yang menggumpal tersalurkan lewat darah. Lalu darah menyentuh setiap  organ tubuh membawa pesan adanya, tanpa harus berkata dan memberi tahu bahwa kesedihan sedang menjelma, mata, fikiran, nafas, pendengaran semua mengerti hanya dengan merasakan alirannya. Bahkan perhatiannya kian tertuju padanya.

“Oh….  Sedih, berkutat dalam sekujur tubuh” grutu ku sambil memasang muka masam pada keceriaan semesta.

Aku hanya duduk di pangkuan kursi ruang tamu. Di hadapanku ada meja bundar yang di atasnya terdapat dua gelas kaca yang berisikan teh berwana coklat gelap sisa dari tamu kemarin yang datang berkunjung. Si semut sudah tak lagi menggerombol pada dinding kaca untuk merauk kesegaran airnya . Yang ada hanya bangkai-bangkai mayat semut yang melayang di dalam air nya.

Meski tak seramai waktu-waktu pertama teh itu ada, tetap ada para semut yang menghampirinya. Meski Semut-semut yang ada hanya melewati sisi gelas, ada yang hanya menengok saja lalu pergi.

Rasanya mataku semakin tajam melihat para semut itu. Hingga jelma kesedihan hilang perhatian.

Yang tak habis ku fikir, mengapa ada yang mencelupkan dirinya ke dalam teh hingga mati mengapung, lalu tenggelam sampai akan menyentuh dasar yang di ramaikan dengan pasir gula-gula putih. Dan semut-semut itu melayang dalam kematian.
Dalam benak ku timbul Tanya.
               
 “BAgaimana perasaan para semut yang melewati dan melihat kawannya bergelantungan mati?” Hatiku sibuk berbicara
               
 “Apa ia juga akan melakukan hal yang sama. Menjeburkan diri?”
APa mungkinkah, hal seperti itu sudah biasa bagi mereka, karena mungkin mata-mata mereka sudah sangat terbiasa melihat teragedi seperti itu.
              
  TIdak seperti diriku, kala kehilangan kucing kesayanganku, Bagong. Satu kematian saja sudah membuatku sesak dan hilang selera makan. Bahkan kematian itu sendiri membayangi diriku seandainya akulah yang berada dalam kematian.
               
 “Maka untuk apa aku berani hidup bila aku tak berani mati” Hati ku terceletuk efek nonton si semut yang dengan santainya melihat kematian.

Si semut yang lewat seolah memberi kabar. Keterbiasaan melihat kematian menjadi suatu hal yang biasa. Dan kesantaiannya berjalan seraya melihat kawan-kawannya melayang dalam kematian adalah pertanda ketidak takutan dalam menghadapi kematian.

Maka aku terperanjat, lalu menghampiri bagong yang hanya ku letakkan dekat dapur. Karena untuk menguburnya saja rasanya tak tega dan terlalu sayang walau ibu sudah berulang kali menyuruhku untuk menguburnya, tetap saja tangan ini enggan melalakukannya. Maka dalam hatiku ku paksakan aku harus menguburnya dan merelakan jasadnya bersatu dengan alam.

Kugali lubang belakang rumahku lalu megkubur si bagong gendut dengan tanah hasil galian. Dengan merintih aku berucap lirih.

“Masak kalah sama si semut”  seolah kata sebagai tepukan dada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...