Kutilang tak pernah tersenyum
apalagi menyuarakan bunyinya. Jejak di pepohonan saja tak memberi bekas lekukan
kakinya.karena Dahliya tak pernah tahu seperti apa kutilang itu. Warna bulu
yang ia kenakan, apalagi suara kicauannya. Bahkan bila pun ia hinggap di pohon
dekat si gadis kencana itu maka tak kan dinyana bahwa yang berhinggap itu
sikutilang.
Dahliya berdiri anggun di samping
rumahnya dekat jalan. Ia tak pernah jenuh memandangi kawula santri yang sering
kali berkelebatan melewati lantai-lantai bersih pondok. Kadangkala kalau para
santri berbaik hati, ia kan memanggil Dahliya dengan rengekan senyum yang
membuntuti.
“Hay…..” ucap Dahliya atas
panggilan itu dengan melambaikan tangannya ke udara.
Gadis itu mengamati kembali sosok-sosok wajah tampan yang berlalu
lalang, meski ada beberapa lelaki istimewa dalam lubuk hatinya yang selalu ia
tunggui kehadirannya. Meski hanya melihatnya saja tanpa tutur sapapun, maka itu
lebih dari cukup. Meski ratapan dalam hatinya beremosi ingin memanggil namanya.
Apalagi berbicara.
SI Dahliya, sering kali menjadi
buah bibir orang-orang di desanya. Dan para perantau yang tinggal di penjara
suci di Desa itu.
Kala maghrib menjelang, tubuhnya
kan meraih air yang bersimbah kesucian. Lalu dia guyurkan ke wajah dan
tangannya air bening itu, memberi usapan sedikit ke rambutnya, hingga periode
ahir dia gerujuk kakinya. Tetes demi tetes air tilas peyucian, mengalir membawa
lumuran dosa, bila memang ia mempunyai dosa.
Mukena putih pakaian kesetaraan ia
kenakan. Dengan langkah yang mantap ia melangkah beberapa jangkah menuju masjid
terbesar di Desa dekat rumahnya. Matanya tak lantas berdiam diri. Ia tetap
mencari-cari sang pengistimewa hati dalam lalulalang para santri. Pun tak
selalu tertangkap matanya, gerak tubuh itu.
Ketika tubuhnya telah berhasil
memasuki rumah peribadatan suci, tak jengah ia tetap menatapi.
Ia tak seperti halnya gadis biasa.
Yang harus sok suci menyembunyikan pandangannya, yang sebenarnya acapkali mencuri-curi pandang dalam peluang
yang longgar. Dahliya gadis yang jujur dan to the point dalam pandangannya.
Gerumunan para sanri putri telah
memasuki kawasan yang istimewa,yang
ketika telah tertanam niat dalam hati beri’tikaf, maka pahala bisa
bergelantungan untuknya.
Tapi seringkali rumah suci itu
menjadi ajang pengumbar kotor. Ucap demi ucap memenuhi mulut mereka dengan tema
si Dahliya, yang suka berbicara sediri dengan kejujuran pandangannya. Tak hanya
sekedar pembicaraan banyolan sampah, tapi tawa remeh untuk si gadis mulia itu
ia sembunyikan dalam bisikan-bisikan keji mereka.
Sungguh keji tindakan itu, tapi untuk Dahliya.
“Apa urusannya itu padaku. Aku tak
peduli”
Seolah ini bahasa untuk sikapnya yang
tak pernah memberi tatapan penuh hasrat benci pada si pengumbar cerita.
Ataukah sebenarnya ia tak pernah
menggubris kata-kata banyolan dan tawa tengik itu, seperti halnya ia tak pernah
memerhatikan si kutilang?.
Ikomat telah membelah petang yang semakin ditelan malam.
Berbaris-baris para manusia memenuhi saf-saf yang masih
kosong.
Dahliya ambil posisi pada barisan
rada mendekat dengan pintu yang memberi celah untuk pandangan jujurnya. Namun
jarang sekali ada yang mau berbaris dekat Dahliya, kecuali kalau terjadi
kekepet yang amat sangat . Dan tetap seperti biasa si Dahliya tak menggubrisnya
seperti burung kutilang.
Suatu ketika Afra, gadis manja pada
wajahnya namun kekar jiwanya dalam menghadapi perjalanan hidup, ia bersengaja
memilih baris berdekatan dengan Dahliya tanpa ada rasa jijik dan dan banyolan
menghujat.
.
Tingginya sedang, kulitnya putih
bercorak coklat sawo, tertutupi mukena putihnya. Tak di nyana tatapan jujur Dahliaya
pada sela pintu, ternyata tak seperti acuhnya pada kutilang. Ia langsung
memberikan senyum tersuci dalam pandangan Afra petang ini.
Usai sembahyang dengan zhikir yang
telah berlalu, beserta do’a dari imam telah selesai di ucapkan, salaman antara
satu dan yang lain yang berdekatan dilakukan. Ketika tangan Afra meraih tangan
kecil Dahliya, tangan itu tak hanya berisi kering kerontang dari kulitnya dan
dangingnya yang semakin mengikis kecil, namun dalam mulutnya memberi suara
untuk gadis berwajah manja itu sambil tangannya mengayunkan dekapnya.
“Kau memang sahabatku” dengan
senyuman tanpa ada yang dibuat-buat.
Afra hanya tersenyum dan kaget
mendengar tutur itu. Tak nyana ia dengar itu darinya. Hingga dalam lubuk
hatinya yang sering memandangi orang-orang yang memberi kesan buruk dan
banyolan kotor tentang Dahliya, mengutuk sengit .
“DAsar
orang-orang sok normal. Menggunakan mulutnya untuk menertawai gadis polos ini”
Mau bagaimana lagi. Ia memang
terlahir dengan takdir seperti itu. Entah apa yang di deritanya. Keterlambatan
dalam berfikir, atau ada kesalahan dalam saraf atau otaknya. Namun bukan
berarti para manusia yang menyandang cap normal boleh memburuki dan Mencemoohi
dari belakang.
“Dan
bisa jadi ia lebih mulia dari para pengumbar yang memberi cela pada kisah
tentang si Dahliya ”
***
Bel sekolah malam telah berbunyi menggema pada malam.
Afra
menuju madrasah untuk menimba ilmu agama. Saat sampai pada lantai madrasah itu,
matanya menilik ke dekat rumah Dahliya, dan tergambar jelas Dahliya berdiri di
situ seperti sedia kala tanpa memerhatikan apakah ada kutilang yang mampir di
pohon dekatnya berdiri. Dengan membawa segudang pandangan jujurnya.
Dahliya
tak lalay seperti pada kutilang, ia teriak dan melambai untuk Afra.
“Hay……”. Suranya memberi warna untuk malam. Dan kain putih
kesetaraan tilas sembahyang maghrib masih ia kenakan untuk bersiap siaga
sembahyang isa’ yang kan datang.
Gadis
berwajah manja itu hanya tersenyum dan tak merasa jengah dengan tingkah si
Dahliya. dirinya tak merasa yakin bahwa
wanita polos bertubuh kecil itu kan ternodai dosa oleh sebab mata jujurnya.
“DIa
istimewa. Setidaknya bukan untuk para manusia yang berlidah cabang bila Di
depannya memberi dukungan, di belakang menusuk, namun semoga dia istimewa dalam
pandangan-Nya”
Ya ….. itulah
kesehariaan Dahliya… yang sering
tertangkap mata di wajah manja Afra .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar