Senin, 14 Oktober 2013

May intan gadis bunga






Bila datang anggara sajuna may intan. Ia kan terbarkan bunga pada setiap jalan.

Protokol-protokol berbunyi gersang ditengah padang sahara yang panas teriknya memekik kulit. Ia acuhkan, dan malah berlari menghampiri oase tengah lautan pasir. Berdampingan dengan  bunga yang ia angkut di siku tangannya.

Pada jemarinya ia sentuhkan air. Lalu bunga-bunga yang bemekaran hasill tanamannya, ia sirami agar bersemi, beranak, lalu saat ibunda kering biar benih-benih peranakannya meneruskan perjuangan sang ibu menghiasi lautan pasir.

Datang bong so’a. musuh bebuyutan may intan. Berkeliaran melototi gadis kecil yang terlukis manja pada mimik mukanya. Tapi may intan tak menggubrisnya paling si bongso’a hanya iri melihat dia bercanda gurau dengan bunga-bunganya.

“Hay may intan. Tak jemu-jemunya ya , kau bersandiwara dengan para buuungamu”

“Apa urusanmu bong’soa. Kau begitu perhatian padaku dan bunga-bungaku”

“Dasar gadis. Kau tak memikirkan dirimu. Bahwa kau bisa terjerat pusing jika berlama-lama berada di luar rumah. Dan bisa-bisa Nanti hitam kulitmu.”

“Biar. Siapa lagi kalo bukan aku yang mengempu para  tumbuhan .biar semerbak mewarnai kegersangan. Karna aku tahu kalian semua hanya mementingkan pekerjaan kalian sendiri, ketimbang tanaman bunga yang indah”.

“Hais dasar… gadis aneh. Gimana mereka mau berbuat sepertimu. Layakya mereka tak membutuhkan bermain tanaman seperti itu. Mereka sudah terjerat apa itu tanggung jawab memberi makan keluarga.

“Biarlah mereka. Dan aku tetap akan bersikukuh dengan kesukaanku. 

“Adaikata kau sudah menjadi ibu-ibu seperi mereka, apakau tetap akan seperti ini. Meladeni para bungamu.

“Suatu hari. Ketika aku telah menjadi seorang ibu, aku akan menanamkan pada anak-anak ku kecintaan pada tanaman-tanaman ini. Agar mereka menjadi penerus , manusia yang menghiasi gersangnnya desa ini. Dan kau pasti tahu. Setiap orang yang lewat sini pasti mampir untuk melihat bunga dan meminta air. Maka aku beri mereka air secukupnya, dan kulihat senyum-senyum mereka gembira. Memandangi  sang bunga, menjadiku tergugah untuk selalu meletarikan kehidupan bungan yang jarang hidup pada kegersangan ini.   Aku suka senyum para pejalan itu yang melewati oase ini. Tapi aku mengeryit kalo kau masih lama-lama disini bongso’a.

Lalu bongso’a pergi sambil mengernyitkan muka.

Sebanarnya bong’soa berniatan baik. Tapi may intan dari dulu berfikiran buruk terhadapnya. Sebab ada salah satu keluarga bongso’a yang mempunyai dendam kesumat pada paman may intan. Bertepatan dirinya sangatlah menyayangi pamannya.

Di desa itu, masih terlalu kolot. Melepas dendam dengan, membunuh, kala dendam itu sudah berada pada bibir puncak.
         Sedang dendam yang ditempu paman may intan, sudah menghampiri puncak. Hingga ia takut kalo-kalo may intan bersahabat dengan bongso’a dan diketahui keluarga yang mendedam, pembunuhan yang seharus bisa diulur bahkan di lunturkan, bisa langsung tercetus sebab pertemanan.
Dan bisa dikatakan may intan tidak membenci bongso’a, hanya ia pura-pura bersifar dingin dan beku padanya.

Bong’soa pergi semakin jauh dan semakin jauh laju langkahnya, sedang may intan hanya diam seraya terus memandanginya tanpa berpaling sedikitpun. Dalam sanubarinya bergema celoteh kejujuran si may intan

“bong’soa. Jangan pergi. Jujur aku sangat ingin berbicara lama juga berteman denganmu. Namun apa dayaku. Walau kau selalu menyapaku dengan wajah masam lagi bertanya ketus aku sangat bahagia. Karna hanya kamu yang mau berbicara padaku, kala para sahabat sebaya begitu memincingkan tingkahku yang selalu menyendiri dengan para bunga. Bukan menyendiri. Tapi karna disendirikan aku jadi menyendiri dengan para bunga.

Engkau tahu sendiri pastinya. Status sosialku didesa ini begitu rendah, sedang engkau, juga keluargamu begitu dihormati dan diagungkan. Hingga dengam kesumat paman tercintaku pada salah seorang keluargamu, menjadikan masyarakat membenci keluargaku. Hingga para gadis-gadis sebaya, juga para kawanan sebaya lelaki, seringkali mengacuhkanku, mengusirku. Dan tak jarang ketika di keramaian aku digilis kesendirian, karna mereka menyingkir berdekatan denganku. Malangnya aku. Mungin awalnya mereka tak ingin, tapi karna terbiasa mereka jadi biasa berbuat seperti itu.

Tapi bunga, kau mencintaiku. Kau tak melihat setatus derajat ku seperti apa. Dan kau bongso’a, wajah masammu, dan ketusnya suara bicaraku, aku anggap itu lantunan persahabatan. Yang mungkin hanya aku manusia seorang, yang mengetahuinya. Sedangkan kau menganggapnya apa. Sungguh aku tidak mengetahuinya. Kuharap kau juga begitu.”

May intan yang datang menebarkan bunga, bukan berarti ia menaburkan bunga-bunga di jalanan. Melainkan ia sering kali merangkul bunga-bunganya yang telah bermekaran sehabis ia petik, ia bawa kemana-mana untuk menemaninya. Hingga bunga itu layu, ia menjadikan layunya sebagai pupuk bagi bunga-bunga yang peranakan,  bunga yang akan dan yang sedang bermekaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...