Bila datang anggara sajuna may intan. Ia kan terbarkan bunga
pada setiap jalan.
Protokol-protokol berbunyi gersang ditengah padang sahara
yang panas teriknya memekik kulit. Ia acuhkan, dan malah berlari menghampiri
oase tengah lautan pasir. Berdampingan dengan bunga yang ia angkut di
siku tangannya.
Pada jemarinya ia sentuhkan air. Lalu bunga-bunga yang
bemekaran hasill tanamannya, ia sirami agar bersemi, beranak, lalu saat ibunda
kering biar benih-benih peranakannya meneruskan perjuangan sang ibu menghiasi
lautan pasir.
Datang bong so’a. musuh bebuyutan may intan. Berkeliaran
melototi gadis kecil yang terlukis manja pada mimik mukanya. Tapi may intan tak
menggubrisnya paling si bongso’a hanya iri melihat dia bercanda gurau dengan
bunga-bunganya.
“Hay may intan. Tak jemu-jemunya ya , kau bersandiwara
dengan para buuungamu”
“Apa urusanmu bong’soa. Kau begitu perhatian padaku dan
bunga-bungaku”
“Dasar gadis. Kau tak memikirkan dirimu. Bahwa kau bisa
terjerat pusing jika berlama-lama berada di luar rumah. Dan bisa-bisa Nanti
hitam kulitmu.”
“Biar. Siapa lagi kalo bukan aku yang mengempu para tumbuhan .biar semerbak mewarnai kegersangan.
Karna aku tahu kalian semua hanya mementingkan pekerjaan kalian sendiri,
ketimbang tanaman bunga yang indah”.
“Hais dasar… gadis aneh. Gimana mereka mau berbuat
sepertimu. Layakya mereka tak membutuhkan bermain tanaman seperti itu. Mereka
sudah terjerat apa itu tanggung jawab memberi makan keluarga.
“Biarlah mereka. Dan aku tetap akan bersikukuh dengan
kesukaanku.
“Adaikata kau sudah menjadi ibu-ibu seperi mereka, apakau
tetap akan seperti ini. Meladeni para bungamu.
“Suatu hari. Ketika aku telah menjadi seorang ibu, aku akan
menanamkan pada anak-anak ku kecintaan pada tanaman-tanaman ini. Agar mereka
menjadi penerus , manusia yang menghiasi gersangnnya desa ini. Dan kau pasti
tahu. Setiap orang yang lewat sini pasti mampir untuk melihat bunga dan meminta
air. Maka aku beri mereka air secukupnya, dan kulihat senyum-senyum mereka
gembira. Memandangi sang bunga,
menjadiku tergugah untuk selalu meletarikan kehidupan bungan yang jarang hidup
pada kegersangan ini. Aku suka senyum
para pejalan itu yang melewati oase ini. Tapi aku mengeryit kalo kau masih
lama-lama disini bongso’a.
Lalu bongso’a pergi sambil mengernyitkan muka.
Sebanarnya bong’soa berniatan baik. Tapi may intan dari dulu
berfikiran buruk terhadapnya. Sebab ada salah satu keluarga bongso’a yang
mempunyai dendam kesumat pada paman may intan. Bertepatan dirinya sangatlah
menyayangi pamannya.
Di desa itu, masih terlalu kolot. Melepas dendam dengan,
membunuh, kala dendam itu sudah berada pada bibir puncak.
Sedang dendam
yang ditempu paman may intan, sudah menghampiri puncak. Hingga ia takut kalo-kalo
may intan bersahabat dengan bongso’a dan diketahui keluarga yang mendedam,
pembunuhan yang seharus bisa diulur bahkan di lunturkan, bisa langsung tercetus
sebab pertemanan.
Dan bisa dikatakan may intan tidak membenci bongso’a, hanya
ia pura-pura bersifar dingin dan beku padanya.
Bong’soa pergi semakin jauh dan semakin jauh laju
langkahnya, sedang may intan hanya diam seraya terus memandanginya tanpa
berpaling sedikitpun. Dalam sanubarinya bergema celoteh kejujuran si may intan
“bong’soa. Jangan pergi. Jujur aku sangat ingin berbicara
lama juga berteman denganmu. Namun apa dayaku. Walau kau selalu menyapaku
dengan wajah masam lagi bertanya ketus aku sangat bahagia. Karna hanya kamu
yang mau berbicara padaku, kala para sahabat sebaya begitu memincingkan
tingkahku yang selalu menyendiri dengan para bunga. Bukan menyendiri. Tapi karna
disendirikan aku jadi menyendiri dengan para bunga.
Engkau tahu sendiri pastinya. Status sosialku didesa ini
begitu rendah, sedang engkau, juga keluargamu begitu dihormati dan diagungkan. Hingga
dengam kesumat paman tercintaku pada salah seorang keluargamu, menjadikan masyarakat
membenci keluargaku. Hingga para gadis-gadis sebaya, juga para kawanan sebaya
lelaki, seringkali mengacuhkanku, mengusirku. Dan tak jarang ketika di
keramaian aku digilis kesendirian, karna mereka menyingkir berdekatan denganku.
Malangnya aku. Mungin awalnya mereka tak ingin, tapi karna terbiasa mereka jadi
biasa berbuat seperti itu.
Tapi bunga, kau mencintaiku. Kau tak melihat setatus derajat
ku seperti apa. Dan kau bongso’a, wajah masammu, dan ketusnya suara bicaraku,
aku anggap itu lantunan persahabatan. Yang mungkin hanya aku manusia seorang, yang
mengetahuinya. Sedangkan kau menganggapnya apa. Sungguh aku tidak
mengetahuinya. Kuharap kau juga begitu.”
May intan yang datang menebarkan bunga, bukan berarti ia
menaburkan bunga-bunga di jalanan. Melainkan ia sering kali merangkul
bunga-bunganya yang telah bermekaran sehabis ia petik, ia bawa kemana-mana
untuk menemaninya. Hingga bunga itu layu, ia menjadikan layunya sebagai pupuk
bagi bunga-bunga yang peranakan, bunga
yang akan dan yang sedang bermekaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar