Mata, untuk apa engkau keringkan oleh sebab lupa. Basahi matamu. Untuk mengaliri tumbuhan-tumbuhan yang layu. BIar tetesan itu melewati sulaman garis di kerut wajah, hingga kan mengering dengan sendirinya. walau serapan airnya tak akan mungkin sampai menyentuh apa itu hati, karena telah kering oleh sinaran sang mentari. setidak-tidaknya telah mampu meluluhkan segumpal batu keras melintang.
BIar batu itu rontok oleh air mata, yang mengalir setetes
demi tetes. Walau berjuta hari , tapi merangkaknya pasti, bila hari-hari untuk
selalu menetesi, atau konsistensi biar menjelma, agar batu itu melebur. Hingga
pintu kan terbuka.
Tok-tok-tok
Masih belum dibukakan pintunya. BAiklah besok aku datang lagi.
Dan besoknya lagi pintu itu masih juga belum belum dibukakan. Dan aku
mengulanginya dan aku mengulanginya kembali.
Setiap kali aku mengetuk, terdengar tetesan air dari balik
pintu yang ingin kubukan.
Begitu terus. Mengetok dan terdengar tetesan air.
Hingga pada waktunya, setelah berjuta hari lamanya, ketukan yang tak pernah berhenti ku tamparkan pada pintu, ahirnya terbuka.
Dan terlihat dari bibir pintu , tersinari cahaya terang
benderang, yang sekilas menyilaukan mata yang memandang. Lalu aku memasuki
pintu ,dan kulihat di pertapakan lantai dekat pintunya, ada banyak guguran batu
yang masih basah, tilas air mata yang tak jemu mengaliri setiap tetes demi tetes
untuk meleburkan batu yang mengganjal
pintu, selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar