Sabtu, 05 April 2014

MEmbaca



*Bagaimana kalo melangkah tak sekedar melangkah. Ada tapaknya, ada kisahnya, ada ketidak sadaran, kesadaran, keterpaksaan. Tapi bagaimana, bila melangkah dengan cinta? melakukan dengan cinta? "apapun".... tanpa pamprih atau bernegosiasi dengan keterpaksaan "biar hidup serasa benar-benar hidup" bila ngelakuin apapun dengan cinta.... walau hanya mungutin gelas plastik untuk di bersihkan sisa-sisa kotornya
"among hati pawitane"

*Ma'na tak tercurah tersimpan dalam upatan. Kan ter kelabui oleh kabut yang mencokel. Bebaskan pada satu kilatan wajah, berlari menghampiri nyala hidup. karena baterai sang sukma sedang meradang perih, melihat ketangkasan sang raja wali. Merasa hanya ayam yang berjelaga hanya bisa memberi nyala kokok pada kehidupan, tak lebih. Aku lari pada-Mu . bukan sebagai pelarian, sebagai usaha penyerahan jiwa, dan ku tak bermaksud mengejanya, hanya saja aku merasa ayam di rajawalinya.

*Pendar manusia memiliki mata nyalang penuh ide. Dalam diri tersimpan diri yang tak terketahui kawannya. Mereka membawa itu pada setiap hentakan waktu.  Dan aku hanya tersenyum untuknya, bahwa aku hanya bisa menerka tanpa pasti. Setidaknya ku di beri satu diri dalam diri yang tak mereka ketahui umpatannya. Dan aku tersenyum karena terkadang aku ingin melihat diri dalam diri mereka.

*Pena tak sekuat halilintar dalam satu, dua,tida atau lima belas tabuhan  yang tak selalu terjadi. jerat gagahnya terkadang membuat manusia ketakutan. Tapi pena akan tetap menari lembut bila tangan mau menggerakkan, terus dan terus , ….  Dan memberi kelembutan nya tanpa menakut-nakuti….  “sebenarnya bukan suatu yang harus dibandingkan” tapi pena sedang memberi kelembutan tentang halilintar, dan ternyata halilintar lebut juga, ia tak meradang marah.

*Bercelatuk pada rona kota megah. Pucuk tinggi tiang-tiang  menghiasi. Peradaban, kasak-kusuk jalang, berkorban, memulia….   Seperti apa?  Sebenarnya…  Mataku hanya melihati dari kotak kecil yang mungkin penuh tipu, kebenaran dan kebatilah masih abu-abu. Aku belum melihatnya dengan mata ku sendiri merasakan keadaannya.

*Hingar-bingar bejelaga, rengekan polos pada remaja. Pandangi cinta hanya sebelah mata hingga merelakan di tikam buasnya buaya. Tak sadarkah umur masih belia. Bisa ditinggal lari bila mengandung di padarannya . Tidak tanggung jawab, masih merengek orang tua, berani-beraninya mengelus-ngelus…..  Bagaimana ini? Apa hanya alasan saling mencinta hingga mengkorbankan tubuh sucinya.  Amboy, para gadis, para pemuda….  Cinta tetap cinta, lalkuka untuk menyalakan hidup bukan menggelapkan….    Sabar….  Nanti ada waktunya….
Dan aku masih belia, apa yang harus kulakukan dengan cinta? “tanya kan diri”

* Sampah adalah tetebengek kekumuhan. Di bakar merusak yang lain, di timbun merusak tanah, di daur ulang, belum mencakup semuanya……  bertanya “begaimana menghadapinya?”...   bukan malah berteriak galau mensalahkan para pejabat. Woy….   Ini sampah kita….    Kita yang seharusnya mengelolanya bukan menunggu orang lain untuk turun mengelus si sampah milik kita…. 

* Icikiwir…..   hentakan mulut pisau merajam pemikaran. Memanglah anak bukan milikmu hanya saja ia terlahir lewatmu, tapi mulut para ayah dan bunda sangat berpengaruh pada sang buah hatinya…. “walau tidak semua, tapi biasanya”
Hati-hati memberi, walau terberinya hanya lewat bahasa isyarat
 maka lakumu bercermin laku pada anakmu. 

Kekuatan lingkungan masyarakat tak sebanding dengan keluarga. Meski bobrok para masyarakat, akan tetap damai sentosa, bila rumah terhidupi. “Ayah, bunda….  Tolong jadikan rumah sebagai sarang pengindah. Bukan neraka untuk di pulangi”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...