Minggu, 12 April 2015

Ibu






Entah mengapa aku tak bercita-cita menjadi seorang ibu. Karena aku merasa, aku tak sebaik ibuku dalam menjaga, merawat dan bersabar pada anaknya.

Jumat, 10 April 2015

cinta

apa kata cinta begitu hebatnya, hingga bisa membuat seseorang menjadi tiba-tiba memiliki gairah hidupnya atau malah terpuruk karena tenggelam dalam kerinduan. atau karenanya juga, sebuah cerita menjadi seperti ada ruhnya. Berdegup penuh antusias ingin tahu siapa nama dihatinya.....   atau cinta adalah bagian hoaxxx  dalam kehidupan seseorang.... sehingga membahas nya saja rasanya ingin menutup telinga....

Apalah itu.....  

Selasa, 07 April 2015

Tulisan “Jelek”




                Aku tahu betul tulisanku yang dalam sudut pandang yang sempit, “Jelek”. Dan lebih kukuh lagi, terdengar dari beberapa orang yang mengatakannya .  Entah secara blak-blakn  atau hanya secara sindirian.
                Kakakku, ibuku dan kawan-kawanku dimana tulisannya mereka yang lebih bagus telah mengakui. Dalam jiwaku kusandarkan makna
                “Nerimo ing pandum” sebagai tepukan bagi hatiku
                Lantas kubayangkan orang-orang hebat seperti baginda Muhammad yang hebat itu ternyata ummi . dan masih banyak lagi orang-orang hebat yang ternyata tulisannya “Kurang bagus”.
                Lalu ketika aku kembali pada diriku sendiri.
                Tulisanku jelek = iya
                Hebat   =  ???
                Tiba-tiba saja anak-anak kecil itu menghampiriku. Menamati saat kumenulis tulisan ini di buku tulis. Kulihat tak berubah dahi mereka yang datar menjadi mengkerut.
                “Tulisan mu jelek” Kukira kata ini kan mereka lontarkan. Ternyata tidak.
                “Nulis opo mbak?” Tanya salah satu dari mereka.
                “Nulis-nulis. Mau nulis?”
                Dengan antusias salah satu anak itu mengambil pena yang kuulurkan padanya. Mereka mencoret kertas kosong samping tulisanku.
                Mereka menulis nama mereka sendiri dan temannya.
                Sampai usai sholat isa’, ustat kembali ke serambi masjid sekaligus tempat belajar  kelas ini.
                Anak-anak kecil itupun pergi dan pindah halauan permainan. Dimana sebelumnya main tulis- menulis lantas main sebaran kertas kumal dari tangga atas, setelahnya lari-larian.
                “Waw seru sekali. Bila hp, laptop tak mereka pegangi. Lalu memutuskan untuk berkumpul bersama. Maka kertas, pulpen, tanah pun jadi permainan yang mereka ciptakan. Permainan yang mereka ciptakan tujuan simple (menurut yang kulihat) yaitu “Menciptakan kegembiraan bersama”. Ujar hatiku
                Dan kulihat dalam perkumpulan anak-anak yang menggangguku itu (sebenarnya menemaniku dalam kesepian yang sementara) mereka dengan sendirinya berlatih membuat kesepakatan lalu mereka menjalaninya bersama. (hahaha)
                Ketika kembali kulihat coretan mereka di bukuku. Aku tersenyum .
                “Tulisanku ada temannya. Pantes mereka tak mengejekku”

Senin, 06 April 2015

Kentut

kentut....
ada kerutan dahi saat mendengarnya, ada tawa  pula saat mendengar, ada urat malu saat tak tepat mengeluarkan. Tergantung
Hanya saja...  dia bagai kehidupan.

 kehidupan yang akan hancur, dan akan pergi , ....  waktunya memang lebih lama dalam proses keterpergiannya .ya, Yang membedakan hanya soal waktu.

HIdup kayak kentut saja orang-orang masih acap kali demi nafsunya mengejar-ngejar didalamnya. Dan sialnya. seringkali aku masuk didalamnya.

Kamis, 19 Maret 2015

Dedaunan



Ada lagu “Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya, hakikat manusia”
                Juga ada lagu, “Dunia sekolah kami semesta laborat kami, kehidupan pustaka kami siapapun itu guru kami”
                Ya, alam, pengalaman, kehidupan bisa memberi kita banyak pelajaran, tinggal apakah fikir, mata, telinga dan mulut digunakan untuk memahami itu semua. Ada hal-hal yang disampaikai dari buku secara struktur, namun jangan terjebak pada itu saja karena alam terlalu semesta luasnya mengandung berbagai makna.
                Ada yang berkata “ pelajaran terpenting adalah pengalaman.

                Pernah suatu waktu, dikala tanganku menggayuhkan sapu membersihkan taman sekolah bersama kawanku. Dedaunan yang gugur di lantai-lantainya membuat tampak kotor tempat ini. Disisi lain memang kelasku oriza sativa yang hari ini mendapat bagian untuk memberesi semua itu atau piket biasanya kami menyebut.
                Dari kejauhan atas, tiba-tiba tampak sesosok yang berdiri dengan tubuhnya, begitu serius tatapannya, mengeluarkan Tanya yang seolah hanya candaan belaka.
                “Kenapa kalian sapu, toh nanti juga kotor lagi” ucapnya begitu serius.
                Kujawab seadanya karena kukira hanya cadaan belaka.
                “Ben resek”
                Selang beberapa waktu setelah obrolan itu, ia langsung pergi.
                Namun gara-garanya aku jadi berfikir pertanyaan yang nggak penting itu, hehe mungkin.
                Aku terus mencari, namun rasanya begitu buntu. Apa maksudnya.
                Hingga pertanyaan yang hampir sama bermunculan di fikiranku.
                “Kenapa harus hidup kalo toh nanti kita mati?”
                “Apa bisa sampah ini bersih dengan sendirinya?”
`               “Hais asem, gor pertanyaan sepele gini saja susah kali mau menjawab”.
                Sampai hari ini berlalu makin berlalu. Tanya itu kadang teringat, kadang pula pergi. Kadang teringat, hingga membuat aku ingin berfikir, kadang pergi. Sampai aku dapat jatah piket lagi.
                Daun-daun kusapu, biar bersih paras mukanya. Walau ada beberapa kotoran ayam yang bercecer-cecer.
                Dari sana aku berfikir. Daun dan sampah-sampah ini, mungkinkah ia tersapu dengan sendirinya atau bersih dengan sendirinya bila tak ada tangan yang menjangkaunya?. Tidak, tidak bisa, harus ada tangan dan gerakan yang membuat sampah ini pergi. BIla dibiarkan terkatung-katung di lantai taman ini, akan membuat tumpukan sampah lain dan tumpukan lain.
                Jadi bergunakah tanganku membersikan sampah ini kalau toh besok masih ada sampah lagi?, tentu, setidaknya kawan besok yang piket mendapat sampah yang baru, dan tak mendapat tumpukan sampah hari ini. Atau misal besok aku membersihkan sampah lagi, akan jauh ringan dalam menyelesaikannya.
                Pun dengan ke kurang kerjaan ku kukaitkan dengan hal lain seperti hanya “Masalah”
Sampah ibarat suatu masalah. Ia akan bertumpuk, bila satu masalah saja tak coba di selesaikan, lalu datang masalah lain. Dan masalah tak akan selesai dengan sendirinya kalau bukan kita sendiri, gerakan kita sendiri yang menyelesakaikan.
                Entah jawaban sebenarnya dari orang itu apa, aku tidak tahu, hanya saja dari pertanyaan itu aku mendapat suatu pembelajaran, asek.
                Menengok alam, menengok kehidupan. Sadari ada pembejaran disana.
                “Berbagi waktu dengan alam”

               
               

Jumat, 13 Maret 2015

Selingkar

terjerembab dalam rasa ini. Aku menyatu dengan suasananya. kebersamaan duduk hampir melingkar, berkata-kata tak peduli sepuitis apa yang penting saling mengert, memaklumi dan menghargai.

Belenggu

Terkadang seseorang memasang sendiri rantai, tutup atau belenggu dalam dirinya sendiri. Tak berupa memang, tak berwarna juga tak berwajah. Tapi ampuh sekali mematahkan langkah, menakut-nakuti untuk terbang.
hingga  membuatnya terus menerus berada di zona nyaman yang menggelisahkan.

Minggu, 01 Maret 2015

CAh kuwi

Balaslah kejahatan dengan kebaikan. Itulah yang dilakukan anak kecil itu padaku. "Aku malu sekali"

Jumat, 27 Februari 2015

Taii

Jangan mencaci maki si tai.

 Berandai, sekiranya tai itu ternyata diriku. Aku bahu dan dibuang, diabaykan. Ketika diinjak kaki manusia aku ditreriaki
"Asem, midak tai"kata manusia itu
"Woy salah siapa?" Teriak ku pada si pemilik kaki itu dengan diam. sedang dia tak pernah mendengarku.
Tapi manusia dengan kakinya itu tak peduli dan berjalan dengan tak merasa bersalah sedikitpun. Bahkan dari wajahnya terukir nada kata pada kerutan dahi nya "Aku tidak bersalah"

"Sudah memaki, tak mengerti kesalahannya sendiri" ucapku pasrah walau tubuhku telah terputus-putus dan sebagian tubuhku telah hilang terbawa kakinya.

Aku tidak pernah meminta diriku tercipta menjadi seperti ini....   "Kau injak aku tapi kau salahkan aku yang duduk di keramik ini. Kau marahi aku padahal engkaulah yang menginjakku" Kata ku Tai (mungkin)

Jumat, 13 Februari 2015

Bosan

Masa kebosanan menjamahiku. Disekitarku hanya terpaku kawan-kawanku yang menghabiskan waktu dengan senda gurauan, sebagai pengisi waktu. Dan aku masih bosan.  Dan menatapi mereka pun juga bosan.

Tapi bagimana keadaan gurun pasir yang kesepian. Tak bisamelangkahkan kaki kemana-mana. Hanya menghabiskan waktu di satu tempat saja. Terik matahari menghanguskan tubuhnya, sedang dinginnya malam menghunus kejam, masih pada tempat yang sama dan tanpa kawan. Atau rumah yang telah ditinggal penghuninya. Kosong, kotor, tak terjaga, sepi sendiri di tengah-tengah desa yang telah ditinggalkan. Atau gunung . Bila sampai dia berani melakahkan kaki,maka apa yang terjadi?, hanya saja dia tetap bertahan, tak lari tak jua melangkah.

Kupandangi mereka sekali lagi, Kawanku yang tersenyum dengan penghabisan waktunya. Ternyata Aku tak sesunyi padang pasir itu, bukan juga stagnan sepeti gunung itu, dengan adanya  mereka di dekatku. Memang kata-kata tak penting dan anekdot belaka dalam bibir mereka, dan membosankan tapi setidaknya hadirnya mereka mampu mengusir kesendirianku.

Aku menjadi bagian dari mereka, tersenyum, membosankan tapi mengesankan. " Menjalani waktu pada sisi bosan".

Selasa, 03 Februari 2015

“Pribadi tukang cilot”




kemarin guwe disuruh simbok beli cilot....   sore-sore yang menyapa. AH pas banget penjual cilotnya mempir di jalan dekat rumah gue. Pertama ada mas-masnya pesen, dia layani. lalu bapaknya pesen dilayani. Lalu gue, gue pesen tiga dilayani juga. Satu buat simbok, yang dua lain buat gue dan kakak gue. Gue minta kagak usah di kasih caos, penting kasih kecap sama sambel dan kuah. Kalo punya simbok dan mbk gue ada caosnya, lengkap dech. Seru banget nich….
Sendainya gue minta pake sambel doang, atau minta nggak usah pake plastic ( missal gue bawa makok dari rumah )  gue rada yakin pasti di layani.
Naah,,,,   dari situ gue tangkep sebuah kepribadian yang manis banget. Bahwa jadi orang itu kayak penjual cilot. Mendengarkan setiap orang. Karena setiap orang itu berbeda, pun cara menghadapi dan bersikappun beda pada setiap orang yang kita temui.
Sore ini, gue makan sama simbok gue dengan cilot ini. Ajib bener. Bukan seberapa mahal cilotnya tapi seberapa bisa menikmatinya dan mensukurinya. Di tambah we jangan kasat mata dan kata dari penjual cilot.
“Pribadi tukang cilot”

Senin, 26 Januari 2015

Kopi panas




kopi panas terhampar gratis di depan ku. HItamnya mengoda untuk segera dilahap melewati tenggorokan sederhanaku. Sampai mulutku telah berhasil mencicipi hitamnya pun harus kutaruk kembali dalam nampan tempat kopi itu tegak berdiri di hadapanku.
"Engkau panas sekali pi". ucapku lewat  tingkah wajah yang mengkerutkan dahi dan mulutku yang kepanasan yang kunarasikan.
Sambil menunggu hujan yang tak kunjung mereda dengan bintik-bintik kecilnya yang datang keroyokan menyergap bumi. Bersama kawanku dan sang guru yang berteduh dalam satu atap yang sama.
Sempoyongan panas masih terlampiaskan di genangan air hitamnya. Masih kutinggalkan untuk meminumnya kembali. Walau tanganku berulangkali memegang tubuh gelas. Mencoba mengartikan seberapa panasnya.
Cerita-cerita sederhana terkicaukan. Begitu renyah dan begitu menyenangkan. Di samping sudah terhampar donat dari guru untuk kami lahap.
“Ah guru. Tahu saja engkau perut ini berteriak-teriak minta sarapan. Toh rasa malu muncul. Bahwa kami sebagai seorang murid rasanya begitu kurang ajar . seharusnya kamilah yang harus menyediakan makanan selezat itu kepadanya, malah kami yang diberi hidangan setiap sore menjepit malam.” Ucap ku yang dapat kukatakan dalam hatiku.
                “Donat ini tidak sempurna, karena berlubang di tengahnya. Sehingga dengan olesan kerim menutupi bolongnya, untuk menutupi ketidak sempurnaannya” Ujar guru dalam candanya.
                Karena kepantasan yang perlu ditanyakan, bahawa seharusnya roti yang disebut donat seharus bolong tengah, tapi tampilan roti ini menghilangkan lubangnya.
                Cicip ku icip, kulahap habis donat ini. Dan ternyata si kopi mulai menghangat, dan setelah tanganku kembali berani mengetesnya,  dia pun kudekatkan ke bibir mulutku, hingga air hitamnya perlahan mengalir di tenggorokanku.
                “Sungguh nikmat sekali” Narasi cara minumku yang sangat menikmati.
                Tegukan demi tegukan kuraih. Sensasi hangat nan enaknyapun terasa walau beberapa waktu lalu aku pernah terkapar pusing meledak sesaat setelah meminum kopi saset yang kubeli diwarung siang hari. Membuatku cepat pusing untuk sekadar berpikir ringan.
                Donatpun habis, kopipun segera dalam masa penghabisannya. Kisah-kisah cerita pun semakin larut menjelang masuknya waktu isak semakin habis.
                Sampai waktunya, teh kawanku telah habis, kopi ustat tinggal endapan dan kopiku sudah habis terkapar maka waktu nya kini kami ahiri pelajaran sore kali ini.
                Awan masih mendung. Hujan masih bernarasi walau dengan rintik-rintiknya. Kodok asik bermain, ayam masih mencari-cari tempat peristirahatan setelah diusir beberapa kali dari gazebo yang sering di duduki orang-orang. Karena kotoran membekas di tempat duduk itu  hingga harus mengusirnya  dari tempat itu.
                “Haha, kasian. Lebih kasian lagi manusia yang harus kerap kali mengelap kotorannya sambil terkadang hidung harus mengembang kempis, dahi mengekrut saat mengelapnya” ucap Khayalku diam wajahku.
                Waktunya pulang.
                Dan kopi, kutinggalkan engkau di tempat cucian dapur tempat ini. Kau sudah habis kulahap. Dan terang benderang mataku begitu kuat.
                Aku siap menghadapi malam. Siap bersaing dengan rasa kantuk untuk menemui telaga-telaga yang keluar dari bibir seseorang sederhana yang memancarkan mata air makna.
                “Selamat tinggal kopi. Sisamu kan menghilang segera, setelah air bersih dan sabun harus yang segera mengolesi raut sekujur tubuhmu. Oleh tangan manusia yang tak tahu siapa gerangan dia nanti.” Ucapku lagi dalam diam.
                Aku berjalan bersama kawanku meninggalkan tempat dekat persawahan ini. Melewati persawahan seperti pantai oleh genangan air yang mengisi. Walau pepadian mulai tumbuh benih-benih keremajaannya.
                Kopi segelas itu, benar-benar menghilangkan kantukku.
                Sampai bertemu dengan pembawa telaga-telaga itu aku memenangkan pertarunganku agar tak kalah oleh kantuk yang membawa terlelapnya mataku.
                “Aku menang. Setidaknya memenangkan diriku, malam ini. Kopi”

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...