kopi panas terhampar gratis di
depan ku. HItamnya mengoda untuk segera dilahap melewati tenggorokan
sederhanaku. Sampai mulutku telah berhasil mencicipi hitamnya pun harus kutaruk
kembali dalam nampan tempat kopi itu tegak berdiri di hadapanku.
"Engkau panas sekali pi".
ucapku lewat tingkah wajah yang
mengkerutkan dahi dan mulutku yang kepanasan yang kunarasikan.
Sambil menunggu hujan yang tak
kunjung mereda dengan bintik-bintik kecilnya yang datang keroyokan menyergap
bumi. Bersama kawanku dan sang guru yang berteduh dalam satu atap yang sama.
Sempoyongan panas masih
terlampiaskan di genangan air hitamnya. Masih kutinggalkan untuk meminumnya
kembali. Walau tanganku berulangkali memegang tubuh gelas. Mencoba mengartikan
seberapa panasnya.
Cerita-cerita sederhana terkicaukan. Begitu renyah dan
begitu menyenangkan. Di samping sudah terhampar donat dari guru untuk kami
lahap.
“Ah guru. Tahu saja engkau perut
ini berteriak-teriak minta sarapan. Toh rasa malu muncul. Bahwa kami sebagai
seorang murid rasanya begitu kurang ajar . seharusnya kamilah yang harus
menyediakan makanan selezat itu kepadanya, malah kami yang diberi hidangan
setiap sore menjepit malam.” Ucap ku yang dapat kukatakan dalam hatiku.
“Donat ini tidak sempurna, karena
berlubang di tengahnya. Sehingga dengan olesan kerim menutupi bolongnya, untuk
menutupi ketidak sempurnaannya” Ujar guru dalam candanya.
Karena
kepantasan yang perlu ditanyakan, bahawa seharusnya roti yang disebut donat
seharus bolong tengah, tapi tampilan roti ini menghilangkan lubangnya.
Cicip ku
icip, kulahap habis donat ini. Dan ternyata si kopi mulai menghangat, dan
setelah tanganku kembali berani mengetesnya,
dia pun kudekatkan ke bibir mulutku, hingga air hitamnya perlahan
mengalir di tenggorokanku.
“Sungguh
nikmat sekali” Narasi cara minumku yang sangat menikmati.
Tegukan
demi tegukan kuraih. Sensasi hangat nan enaknyapun terasa walau beberapa waktu
lalu aku pernah terkapar pusing meledak sesaat setelah meminum kopi saset yang
kubeli diwarung siang hari. Membuatku cepat pusing untuk sekadar berpikir
ringan.
Donatpun
habis, kopipun segera dalam masa penghabisannya. Kisah-kisah cerita pun semakin
larut menjelang masuknya waktu isak semakin habis.
Sampai
waktunya, teh kawanku telah habis, kopi ustat tinggal endapan dan kopiku sudah
habis terkapar maka waktu nya kini kami ahiri pelajaran sore kali ini.
Awan
masih mendung. Hujan masih bernarasi walau dengan rintik-rintiknya. Kodok asik
bermain, ayam masih mencari-cari tempat peristirahatan setelah diusir beberapa
kali dari gazebo yang sering di duduki orang-orang. Karena kotoran membekas di
tempat duduk itu hingga harus
mengusirnya dari tempat itu.
“Haha,
kasian. Lebih kasian lagi manusia yang harus kerap kali mengelap kotorannya
sambil terkadang hidung harus mengembang kempis, dahi mengekrut saat
mengelapnya” ucap Khayalku diam wajahku.
Waktunya
pulang.
Dan kopi,
kutinggalkan engkau di tempat cucian dapur tempat ini. Kau sudah habis kulahap.
Dan terang benderang mataku begitu kuat.
Aku
siap menghadapi malam. Siap bersaing dengan rasa kantuk untuk menemui
telaga-telaga yang keluar dari bibir seseorang sederhana yang memancarkan mata
air makna.
“Selamat
tinggal kopi. Sisamu kan menghilang segera, setelah air bersih dan sabun harus
yang segera mengolesi raut sekujur tubuhmu. Oleh tangan manusia yang tak tahu
siapa gerangan dia nanti.” Ucapku lagi dalam diam.
Aku
berjalan bersama kawanku meninggalkan tempat dekat persawahan ini. Melewati
persawahan seperti pantai oleh genangan air yang mengisi. Walau pepadian mulai
tumbuh benih-benih keremajaannya.
Kopi
segelas itu, benar-benar menghilangkan kantukku.
Sampai
bertemu dengan pembawa telaga-telaga itu aku memenangkan pertarunganku agar tak
kalah oleh kantuk yang membawa terlelapnya mataku.
“Aku
menang. Setidaknya memenangkan diriku, malam ini. Kopi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar