Senin, 26 Januari 2015

Kopi panas




kopi panas terhampar gratis di depan ku. HItamnya mengoda untuk segera dilahap melewati tenggorokan sederhanaku. Sampai mulutku telah berhasil mencicipi hitamnya pun harus kutaruk kembali dalam nampan tempat kopi itu tegak berdiri di hadapanku.
"Engkau panas sekali pi". ucapku lewat  tingkah wajah yang mengkerutkan dahi dan mulutku yang kepanasan yang kunarasikan.
Sambil menunggu hujan yang tak kunjung mereda dengan bintik-bintik kecilnya yang datang keroyokan menyergap bumi. Bersama kawanku dan sang guru yang berteduh dalam satu atap yang sama.
Sempoyongan panas masih terlampiaskan di genangan air hitamnya. Masih kutinggalkan untuk meminumnya kembali. Walau tanganku berulangkali memegang tubuh gelas. Mencoba mengartikan seberapa panasnya.
Cerita-cerita sederhana terkicaukan. Begitu renyah dan begitu menyenangkan. Di samping sudah terhampar donat dari guru untuk kami lahap.
“Ah guru. Tahu saja engkau perut ini berteriak-teriak minta sarapan. Toh rasa malu muncul. Bahwa kami sebagai seorang murid rasanya begitu kurang ajar . seharusnya kamilah yang harus menyediakan makanan selezat itu kepadanya, malah kami yang diberi hidangan setiap sore menjepit malam.” Ucap ku yang dapat kukatakan dalam hatiku.
                “Donat ini tidak sempurna, karena berlubang di tengahnya. Sehingga dengan olesan kerim menutupi bolongnya, untuk menutupi ketidak sempurnaannya” Ujar guru dalam candanya.
                Karena kepantasan yang perlu ditanyakan, bahawa seharusnya roti yang disebut donat seharus bolong tengah, tapi tampilan roti ini menghilangkan lubangnya.
                Cicip ku icip, kulahap habis donat ini. Dan ternyata si kopi mulai menghangat, dan setelah tanganku kembali berani mengetesnya,  dia pun kudekatkan ke bibir mulutku, hingga air hitamnya perlahan mengalir di tenggorokanku.
                “Sungguh nikmat sekali” Narasi cara minumku yang sangat menikmati.
                Tegukan demi tegukan kuraih. Sensasi hangat nan enaknyapun terasa walau beberapa waktu lalu aku pernah terkapar pusing meledak sesaat setelah meminum kopi saset yang kubeli diwarung siang hari. Membuatku cepat pusing untuk sekadar berpikir ringan.
                Donatpun habis, kopipun segera dalam masa penghabisannya. Kisah-kisah cerita pun semakin larut menjelang masuknya waktu isak semakin habis.
                Sampai waktunya, teh kawanku telah habis, kopi ustat tinggal endapan dan kopiku sudah habis terkapar maka waktu nya kini kami ahiri pelajaran sore kali ini.
                Awan masih mendung. Hujan masih bernarasi walau dengan rintik-rintiknya. Kodok asik bermain, ayam masih mencari-cari tempat peristirahatan setelah diusir beberapa kali dari gazebo yang sering di duduki orang-orang. Karena kotoran membekas di tempat duduk itu  hingga harus mengusirnya  dari tempat itu.
                “Haha, kasian. Lebih kasian lagi manusia yang harus kerap kali mengelap kotorannya sambil terkadang hidung harus mengembang kempis, dahi mengekrut saat mengelapnya” ucap Khayalku diam wajahku.
                Waktunya pulang.
                Dan kopi, kutinggalkan engkau di tempat cucian dapur tempat ini. Kau sudah habis kulahap. Dan terang benderang mataku begitu kuat.
                Aku siap menghadapi malam. Siap bersaing dengan rasa kantuk untuk menemui telaga-telaga yang keluar dari bibir seseorang sederhana yang memancarkan mata air makna.
                “Selamat tinggal kopi. Sisamu kan menghilang segera, setelah air bersih dan sabun harus yang segera mengolesi raut sekujur tubuhmu. Oleh tangan manusia yang tak tahu siapa gerangan dia nanti.” Ucapku lagi dalam diam.
                Aku berjalan bersama kawanku meninggalkan tempat dekat persawahan ini. Melewati persawahan seperti pantai oleh genangan air yang mengisi. Walau pepadian mulai tumbuh benih-benih keremajaannya.
                Kopi segelas itu, benar-benar menghilangkan kantukku.
                Sampai bertemu dengan pembawa telaga-telaga itu aku memenangkan pertarunganku agar tak kalah oleh kantuk yang membawa terlelapnya mataku.
                “Aku menang. Setidaknya memenangkan diriku, malam ini. Kopi”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...