Selasa, 07 April 2015

Tulisan “Jelek”




                Aku tahu betul tulisanku yang dalam sudut pandang yang sempit, “Jelek”. Dan lebih kukuh lagi, terdengar dari beberapa orang yang mengatakannya .  Entah secara blak-blakn  atau hanya secara sindirian.
                Kakakku, ibuku dan kawan-kawanku dimana tulisannya mereka yang lebih bagus telah mengakui. Dalam jiwaku kusandarkan makna
                “Nerimo ing pandum” sebagai tepukan bagi hatiku
                Lantas kubayangkan orang-orang hebat seperti baginda Muhammad yang hebat itu ternyata ummi . dan masih banyak lagi orang-orang hebat yang ternyata tulisannya “Kurang bagus”.
                Lalu ketika aku kembali pada diriku sendiri.
                Tulisanku jelek = iya
                Hebat   =  ???
                Tiba-tiba saja anak-anak kecil itu menghampiriku. Menamati saat kumenulis tulisan ini di buku tulis. Kulihat tak berubah dahi mereka yang datar menjadi mengkerut.
                “Tulisan mu jelek” Kukira kata ini kan mereka lontarkan. Ternyata tidak.
                “Nulis opo mbak?” Tanya salah satu dari mereka.
                “Nulis-nulis. Mau nulis?”
                Dengan antusias salah satu anak itu mengambil pena yang kuulurkan padanya. Mereka mencoret kertas kosong samping tulisanku.
                Mereka menulis nama mereka sendiri dan temannya.
                Sampai usai sholat isa’, ustat kembali ke serambi masjid sekaligus tempat belajar  kelas ini.
                Anak-anak kecil itupun pergi dan pindah halauan permainan. Dimana sebelumnya main tulis- menulis lantas main sebaran kertas kumal dari tangga atas, setelahnya lari-larian.
                “Waw seru sekali. Bila hp, laptop tak mereka pegangi. Lalu memutuskan untuk berkumpul bersama. Maka kertas, pulpen, tanah pun jadi permainan yang mereka ciptakan. Permainan yang mereka ciptakan tujuan simple (menurut yang kulihat) yaitu “Menciptakan kegembiraan bersama”. Ujar hatiku
                Dan kulihat dalam perkumpulan anak-anak yang menggangguku itu (sebenarnya menemaniku dalam kesepian yang sementara) mereka dengan sendirinya berlatih membuat kesepakatan lalu mereka menjalaninya bersama. (hahaha)
                Ketika kembali kulihat coretan mereka di bukuku. Aku tersenyum .
                “Tulisanku ada temannya. Pantes mereka tak mengejekku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...