26-october-2013
"malam in mont jimbaran"
Bila malam telah menghadirkan dirinya. Maka kebersamaan ini bersatu
menyambutnya.
Gemerlap cahaya perkotaan menjadi pengganti bintang untuk sementara. Karna
mendung. Awan dengan tubuhnya menutupi para bintang.
Kita menatap mereka ditengah-tengah cahaya, dari ketinggian ini. Mencoba
memecah sunyi dengan menyanyi dan gelak tawa. Juga menangis luapan kisah sedih
yang diumbarkan, peranakan dari cerita masa lalu.
Hujan, mendung tetap kita terjang hanya karna satu alasan. Adalah
"kebersamaan"
Rintik tangis langit membasahi bumi cinta. Tenda-tenda yang tegap berdiri di
lereng gunung terbasahi rintihnya.
Walau begitu.
Kita berlari, berjalan bersama. Saling menerangi jalan yang bebatuan menuju
ke tenda rumah besar.
Walau tangisnya membasahi tenda kami, tapi kita berteduh bersama. DAn bersama.
"Pandang yang ku lepas pada luas"
Panorama yang seluas tak terkira oleh selayang pandangku.
Bertemakan memandang dari kejauhan nan tinggi pandanganku ku lepas.
Ada banyak jiwa disana. Yang merintih dan berdo'a. Dan tidak lepas seuntas
konflik dan masalah yang telah melekat pada setiap manusia.
Disini aku hanya dapat menerawangi kehidupan. Luasnya panorama hanya dapat
ku berandai-andai tenang fenomena pada jiwa-jiwa yang mereka rasakan.
Tapi aku bahagia.
Walau yang ku lihat
hanya meni’mati indahnya.
Para alam dan
pasak-pasak yang menduduki peristirahatan tanah. Dan Para awan yang menari-nari
kesana kemari tak beraturan.
Derai angin yang seringkali singgah d tenda-tenda perkemahan dekatku, yang
sedang meraba sulaman-sulaman lautan luas sang alam.
“Alam yang bertasbih”
Hay alam!!! Apa kalian berbiara?. Apa kalian juga merinih?. Dan apa kalia
juga berdo’a?
Bila mataku ku tatap pada kalian. Aku tak mendengar desas-desus suaramu.
Yang kutahu kalian hanya riya’. Yang memerkam keexsotisan kalian.
Aku mencoba mensadari. Diamnya suara kalian bukan berarti kalian tak
berbicara. Tapi gerak, juga adanya kalian itu, sudah sebagai bentuk
penggambaran kata kalian. Bahwa kalian ada.
Dan segala apapun yang terada. Pasti kan bertasbih kepada yang mengada.
Hanya hati juga bibir manusia saja. Yang seringkali angkuh dalam memujanya.
28-october-2o13 “Hay
gunung”
Hay gunung. Sebesar-besarnya dirimu. Perlawanan tak kan
pernah ada. Karna kau hanya tercipta untuk patuh. Sedang aku????
lihatlah aku!!!!
Dari ketinggian gunung, adaku tak terjangkau dan juga tak terlihat.
Begitu kecil, sehingga pergerakan saja tak mumpuni untuk di iyakan adanya.
Tapi aku malu sekali padamu gunung...
"kecilya diriku, menyimpan kebesaran yang tak patut tuk
dipertahankan. Arogan. membanggakan diri, egois, gila hormat. Memilih jalan
buntu...."
Aku malu padamu. Wahai gunung.
Maka ajari aku kepatuhan. Patuh benar-benar patuh, dan tiada
alasan untuk mengelak kepatuhan itu.
Malam ini sungguh indah. puncuk badanmu akan aku daki...
agar aku mengerti, bukan sebatas ayang-ayang. Walau tekad, dan kemauan haruslah
ditegakkan... dan di goreskan pada dinding hati...
Bahwa. pucuk- pucuk pucuk.... aku pasti bisa.....
Dan sekarang. Lihatlah gunung!!! Aku sudah berada di atas tanah tertinggimu,
hingga sang mentari datang mencibir manusia, tapi bagi kami, ia yang
ditunggu-tunggu sejak malam tadi hingga sampai kemari.
Samudra awan bergelombang berpose tak beraturan. Menutupi keindahan
kawula-kawula kebun teh dan kehidupan di bawah bukit. Sang kabut tak
jemu-jemunya memuntahkan nafasnya. Menggrayangi tubuh-tubuh manusia, agar
mereka tetap kedinginan. Walau pelita terang benderang seringkali hadir
menghangatkan tubuh ini.
Hay gunung….
Thanks karna,
kau tak goyangkan badanmu, kala kaki-kaki
ini mengingak tubuhmu.
"kesahajaan yang terberikan tanpa kata"
THanks
GUnung. Kesahajaanmu tapa kata. membuatku menerka-nerka kata sendiri dalam
mendevinisikannya. Bila kau hadapkan rintangan untuk ku dan kawan-kawanku. maka
aku dan kita kan saling menjaga .
bila kau tawarkan longsornya tepi, maka aku dan kami saling teriak-kan bahwa
sebelah ada ranjau yang bahaya bila ditapaki.
Bila kau tawari dingin, maka jacket juga menyalakan bara api bersama untuk
menghangakan kulit-kulit kami yang tertusuk dinginnya kabut.
Bila kau lampirkan lelah pada salah satu dari kami, maka kita semua kan
berhenti, bukannya megedepankan egois diri, dengan memaksakan untuk tetap
merangkak ke bukit sedang minoritas tubuhnya sedang lunglay butuh berhenti
sejenak.
Bila diri telah tersundul pohon juga terjeduk batu, maka teriakkan pada yang
lain bahwa berhati-hatilah, disini berbahaya bila kau menirukan ketidak
fokusanku.
BIla semangat diri luntur untuk mencapai bukit, maka cayo, semangat untuk mu
kawan.
Dan ketika kita telah sampai di ujung dakian, maka kita bersorak ria, karna
kita, bersama dalam mencapai puncaknya.
"Guru kehidupan"
keterbukaan ke jujuran ( dhak pas muncak kesel ngomong kesel jangan
dipaksakan kallo ngg' kuat) .
kawan
jangan malu untuk berbicara, komunikasi, keterbukaan satu sama laain,
kejujuran. ini sebagian pembelajar yang berharga untuk kita terapkan pada
kelas, juga komunitas belajar kita. salam dari medan gunung yang kita
langkahi.
"bicara. komunikasi"
biar kita saling mengerti".
pembelajaran lain. "kita ini kecil kawan. Dari ketnggian
gunung pun tak teremukan batang hidungnya. sedang gunung ini. Tetap bersahaja,
walau sekujur badannya terlihat dari belasan kota dan desa-desa. bahkan sering
menjadi bahan rujukan untuk di hampiri dan di puji ke indahannya. Tapi
membanggakan dirinya sedikitpun tidak pernah segelintir manusiapun pernah
mendengarnya "kehancuran terbesar
manusia adalah kesombongan"