Sabtu, 14 Desember 2013

Kancah sesal






Apa yang kucari hingga ku pergoki diriku sering terlena kesenangan duniawi yang tiada habisnya?
Apa yang kucari? Kesenangan ?, hura-hura?
Bukan, bukan. Bukan itu maksudku!!

Hati ini parau, menjejaki pertapakan yang menimbulkan birahi, kehampaan hati.
Bertautan mendung kala kancah langit menebarkan pesona.
Buta terhadap warna-warni hanya karena tangan menutupi mata.
Pegunungan yang begitu besarnya dapat lenyap sekajap pandangan sebab tertutupi uang seribu yang bertelekan di mata.

Aku sering menjatuhkan diriku dalam malapetaka. Saat aku kehilangan kendali diriku.
Menyeruak amarah, ego, kebencian
Selaksa mensayat nadi pagoda kesucian hati.
Bertautan emosi, hingga aku menyesali diri.

Pengulangan membayangi ku. Ingin sekali ku mengulang waktu hanya inginkan sebongkah penghargaan pada waktu yang telah berlalu jauh.
Walau jauhnya hanya tida detik waktu bergulir…
Ingin kembali untuk menghargai, toh yang dapat dilakukan adalah jalan kedepan dengan menghargainya, agar berlalu dengan tanpa ada goresan sesal.

“Setidaknya berusaha untuk hal itu”

Sabtu, 23 November 2013

Ada ???

Ada dari tiada. Sesuatu ada karna sesuatu yang lain......begitu terus hingga yang ada hanyalah tiada.

yang ada mengapa ada?
apakah iya memilih untuk ada? emangnya ia bisa menentukan dirinya? yaqin iya bisa menciptakan dirinya?
jika ia menciptakan dirinya, maka ia butuh "diri" untuk bisa mencitakan dirinya?

I need.....  yang meng ada untuk ada.
BUt,  aku takut sekali.   "sepertinya jerami yang bertelekan tidur menghadap angkasa enak ya. ketika memang, tiada. "Sudah". selesailah dirinya.

AKu ini musafir. menelusuri jalan hidup ini hanya sekejap mata. Mengumpulkan buah-buahan untuk perbekalan jalan hidup setelahnya, yang tidak diketahui ukuran waktunya.

AKu musafir. Yang bertemu dengan musafir lain, di jalan. Pernahku, menjereat hatiku, hingga lengket bersama para musafir itu. Tapi toh, pada ahirnya kita berjalan sendiri-sendiri, dengan bayang-banyang kenangan saat kita bertemu.
 Pernahku iri pada mereka, pernahku membenci mereka, pernah ku mencintai mereka, Pernah ku sakiti mereka, pernah ku saling tolong denga mereka.DAn pernah ku tersenyum pada mereka. HIngga semua itu berlalu, hingga nantinya setiap musafir-musafir akan berjalan pada jalan yang telah dipilihnya sendiri.

Seolah hanya bayang sapa, lalu mengenang pada awang-awang kepala, lalu menangis ingin dikembalikan pada waktu yang berlalu.  ENtah hanya tersenyum saja atau minta maaf.
UNtuk pembelajaran saja " semoga ketika kita bertemu,  sambutku pada kamu musafir, degan tersenyum. BUkan sebagai permusuhan. Toh hanya sekejap kita bertemu. APakah tidak bisa sabar untuk meninggalkan kenangan yang baik?

Sabtu, 09 November 2013

"Tebar Pesona"



Mencoba mendekati masyakat. Langkah awal yang dilalui, bukan hanya bayang-banyang juga berbicara belaka tanpa ada aksi. Tapi terjun langsung ke lapangan, melihat langsung, menelusuri gang-gang kecil  Kemudian mensapai orang-orang sebagai bentuk interaksi dengan mereka.

Siapapun tak terkecuali anak balita. Bahkan sampai yang tua rentapun harus disambut dengan menyapa. Setidak-tidaknya hanya dengan senyum belaka. Bila aku kata, pendekatan ini yang ku beri nama “tebar pesona”. Dan hal ini biar menjadi langkah awal dalam mendekati mengenali juga memahami masyarakat.

 Walau menebar pesona dengan sapaannya, tetaplah coba amati mereka, lingkugan, obrolan.  Sebagai bentuk melatih kepekaan diri.

Selasa, 29 Oktober 2013

Catatan Pendaki

26-october-2013

"malam in mont jimbaran"

Bila malam telah menghadirkan dirinya. Maka kebersamaan ini bersatu menyambutnya.
Gemerlap cahaya perkotaan menjadi pengganti bintang untuk sementara. Karna mendung. Awan dengan tubuhnya menutupi para bintang.

Kita menatap mereka ditengah-tengah cahaya, dari ketinggian ini. Mencoba memecah sunyi dengan menyanyi dan gelak tawa. Juga menangis luapan kisah sedih yang diumbarkan, peranakan dari cerita masa lalu.

Hujan, mendung tetap kita terjang hanya karna satu alasan. Adalah "kebersamaan"

Rintik tangis langit membasahi bumi cinta. Tenda-tenda yang tegap berdiri di lereng gunung terbasahi rintihnya.

Walau begitu.

Kita berlari, berjalan bersama. Saling menerangi jalan yang bebatuan menuju ke tenda rumah besar.

Walau tangisnya membasahi tenda kami, tapi kita berteduh bersama. DAn bersama.





"Pandang yang ku lepas pada luas"



Panorama yang seluas tak terkira oleh selayang pandangku.
Bertemakan memandang dari kejauhan nan tinggi pandanganku ku lepas.
Ada banyak jiwa disana. Yang merintih dan berdo'a. Dan tidak lepas seuntas konflik dan masalah yang telah melekat pada setiap manusia.

Disini aku hanya dapat menerawangi kehidupan. Luasnya panorama hanya dapat ku berandai-andai tenang fenomena pada jiwa-jiwa yang mereka rasakan.

Tapi aku bahagia.  Walau yang ku lihat hanya meni’mati indahnya.  Para alam dan pasak-pasak yang menduduki peristirahatan tanah. Dan Para awan yang menari-nari kesana kemari tak beraturan.
Derai angin yang seringkali singgah d tenda-tenda perkemahan dekatku, yang sedang meraba sulaman-sulaman lautan luas sang alam.


“Alam yang bertasbih”



Hay alam!!! Apa kalian berbiara?. Apa kalian juga merinih?. Dan apa kalia juga berdo’a?

Bila mataku ku tatap pada kalian. Aku tak mendengar desas-desus suaramu. Yang kutahu kalian hanya riya’. Yang memerkam keexsotisan kalian.

Aku mencoba mensadari. Diamnya suara kalian bukan berarti kalian tak berbicara. Tapi gerak, juga adanya kalian itu, sudah sebagai bentuk penggambaran kata kalian. Bahwa kalian ada.

Dan segala apapun yang terada. Pasti kan bertasbih kepada yang mengada.
Hanya hati juga bibir manusia saja. Yang seringkali angkuh dalam memujanya.




28-october-2o13 “Hay gunung”


Hay gunung. Sebesar-besarnya dirimu. Perlawanan tak kan pernah ada. Karna kau hanya tercipta untuk patuh. Sedang aku????

lihatlah aku!!!!

Dari ketinggian gunung, adaku tak terjangkau dan juga tak terlihat. Begitu kecil, sehingga pergerakan saja tak mumpuni untuk di iyakan adanya.

Tapi aku malu sekali padamu gunung...

"kecilya diriku, menyimpan kebesaran yang tak patut tuk dipertahankan. Arogan. membanggakan diri, egois, gila hormat. Memilih jalan buntu...."

Aku malu padamu. Wahai gunung.

Maka ajari aku kepatuhan. Patuh benar-benar patuh, dan tiada alasan untuk mengelak kepatuhan itu.

Malam ini sungguh indah. puncuk badanmu akan aku daki... agar aku mengerti, bukan sebatas ayang-ayang. Walau tekad, dan kemauan haruslah ditegakkan... dan di goreskan pada dinding hati...

Bahwa. pucuk- pucuk pucuk.... aku pasti bisa.....

Dan sekarang. Lihatlah gunung!!!  Aku sudah berada di atas tanah tertinggimu, hingga sang mentari datang mencibir manusia, tapi bagi kami, ia yang ditunggu-tunggu sejak malam tadi hingga sampai kemari.
Samudra awan bergelombang berpose tak beraturan. Menutupi keindahan kawula-kawula kebun teh dan kehidupan di bawah bukit. Sang kabut tak jemu-jemunya memuntahkan nafasnya. Menggrayangi tubuh-tubuh manusia, agar mereka tetap kedinginan. Walau pelita terang benderang seringkali hadir menghangatkan tubuh ini.

Hay gunung….   Thanks karna, kau tak goyangkan badanmu, kala kaki-kaki  ini mengingak tubuhmu.







"kesahajaan yang terberikan tanpa kata"


THanks GUnung. Kesahajaanmu tapa kata. membuatku menerka-nerka kata sendiri dalam mendevinisikannya. Bila kau hadapkan rintangan untuk ku dan kawan-kawanku. maka aku dan kita kan saling menjaga .

bila kau tawarkan longsornya tepi, maka aku dan kami saling teriak-kan bahwa sebelah ada ranjau yang bahaya bila ditapaki.

Bila kau tawari dingin, maka jacket juga menyalakan bara api bersama untuk menghangakan kulit-kulit kami yang tertusuk dinginnya kabut.

Bila kau lampirkan lelah pada salah satu dari kami, maka kita semua kan berhenti, bukannya megedepankan egois diri, dengan memaksakan untuk tetap merangkak ke bukit sedang minoritas tubuhnya sedang lunglay butuh berhenti sejenak.

Bila diri telah tersundul pohon juga terjeduk batu, maka teriakkan pada yang lain bahwa berhati-hatilah, disini berbahaya bila kau menirukan ketidak fokusanku.

BIla semangat diri luntur untuk mencapai bukit, maka cayo, semangat untuk mu kawan.

Dan ketika kita telah sampai di ujung dakian, maka kita bersorak ria, karna kita, bersama dalam mencapai puncaknya.



"Guru kehidupan"



keterbukaan ke jujuran ( dhak pas muncak kesel ngomong kesel jangan dipaksakan kallo ngg' kuat) .  kawan jangan malu untuk berbicara, komunikasi, keterbukaan satu sama laain, kejujuran. ini sebagian pembelajar yang berharga untuk kita terapkan pada kelas, juga komunitas belajar kita. salam dari medan gunung yang kita langkahi.  "bicara. komunikasi" biar kita saling mengerti".

pembelajaran lain.  "kita ini kecil kawan. Dari ketnggian gunung pun tak teremukan batang hidungnya. sedang gunung ini. Tetap bersahaja, walau sekujur badannya terlihat dari belasan kota dan desa-desa. bahkan sering menjadi bahan rujukan untuk di hampiri dan di puji ke indahannya. Tapi membanggakan dirinya sedikitpun tidak pernah segelintir manusiapun pernah mendengarnya  "kehancuran terbesar manusia adalah kesombongan"

Rabu, 23 Oktober 2013

EMas yang telah tiada kehadirannya






segemgam emas yang tiada kehadirannya....
suatu kesalahan, ketika engkau ada, lalu aku mencintaimu.
aku harus bersaing dengan emas  lain walau ku tahu  aku hanya perunggu.
jelas. pasti aku yang kalah.

karna bukan sebatas cinta yang kan dibutuhkan. tapi bagaimana hati juga pemikiran yang dimilikinya.

segemgam emas itu tinggal tak jauh dari rumah emas lain yang yang mengalahkanku. ia sering kali memandangi sang segemgam emas, lewat lubang kecil.

Hingga sang ayah handa melihat tingkah anaknya.  Lalu lubang itu ia ganti kaca yang hanya dapat melihatnya dari dalam, sedang dari luar hanya tampak kegelapan pada kaca

Dan ahirnya segegam emas itu dan emas lain, disatukan dalam bentuk komitmen, walau setelah itu mereka tetap meneruskan belajar  sebagai perbekalan atas lika-likunya kehidupan rumah tangga dan kehidupan bertemakan berjuang juga pengorbanan.

Oekkkkk……

Aku lahir. Berada jauh setelah segemgam emas tiada kehadirannya. Dan aku bertemu emas lain.
Yang tak jemu-jemunya ia berada pada garis keistiqomahan.

Banyak cerita yang tercerita tentang sosok segemgam emas dari banyak kalangan…. Hingga aku jatuh hati padanya.

Tapi sayang. Melihatpun tidak pernah. Dan sayang dia juga sudah bersama emas yang lain.
Namun bila segemgam emas tak bersama emas lain, maka perunggu tak ada. Karna aku ada, lewati zaman lahirnya ibuku sebagai anak mereka.

Dan aku terkagum oleh sang emas itu. Emas yang telah tiada kehadirannya.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Aku "TIADA"


"Terima kasihhh........ untuk siapa saja"

Di dunia. Andai sepi dari kata dan suara. senyap sepi yang kan ada. Tapi dibalik sepinya ada beragam hal yang disembunyikan dalam kesunyian itu.
BIsa jadi beban yang berat yang di topang pada bahunya.
BIsa jadi keceriaan. Gelak tawa. kebencian. Siasat.

Bayangkan. Sepi itu, semua yang tak berupa dan tak bersuara dari para manusia, berbicara. Terdengar riuhnya. Beban berat berteriak-triak dan berbicara perihal sebab terjadinya. Kecerian menceritakan latar yang membelakanginya.
DAn sedih berbicara... lawat puisi indahnya. DAn cinta mengumbarkan bahasa subjectifitasnya. hahaha

namun ada manusia satu saja..... yang dalam dirinya tak bersuara.
yaitu ia yang terlelap dalam kekosongannya. Ia bagai hilang....   mati rasa...tiada suara

Dan semuanya membulinya.
"dimana dirimu?.....  kau tak punya? hahaha

Lalu datang sibijak dan menghentikan gelak tawa pada kermunan-kerumunan itu.

"Egois, sombong. Kalian fikir kalian jauh hebat darinya. Karna merasa dirinya berada.

Coba perhatikan dia

Maka engkau saksikan ia, berada pada kekosongannya. Berada pada pucuk kepasrahan. Karna ia mengerti semuanya hanyalah ketiadaan.
 Andai kata dunia tak tercipta maka semua tak ada. Lalu ia tahu. Hanya satu lagi tak terbagi yang ada walau adanya tak beruang, tak berwaktu, hingga simanusia itu hilang akan dirinya sendiri.

Lantas si manusia yang kosong, kembali ke dunia nyatanya.Dan mulai terdegar riuh dalam dirinya.

Semua terdiam semua, terlamun pada orang itu. Karna gemerlap wajahnya terlumuri pucat. Riuh dalam dirinya hanya berkumandang satu kata yang terus terulang.

Lalu ia berbicara.

"Kalian. apa kalian pernah merasakan. BAgaiman tak ada ruang? bagaimana tak ada warna?. juga tak ada rasa dan tak ada suara?.  apa kalian tahu hambar?. itu masih bisa berasa walau hanya pahit, atau ketidak pengertian yang terasa.?

DIsini, kau, kalian hilang. Dinisi kau, kalian tiada. Disini bukan hambar dan ketidak pengertian tapi kau benar-benar tidak ada. Dan ini sering kali kita rasakan dan terus berulang sepanjang waktu yang terberikan, masing masing dari kita.
Itu pengambaran bahwa kita sebenarnya hanyalah seongok ketiadaan.
kalian tahu itu dimana?

"TIdak"  wajah-wajah mereka yang menjawabnya.

"TIdur dan tidak bermimpilah. Mungkin itu rasanya tiada"

Pertemuan



Beliau telah lama meninggalkan bumi kehidupan. Dengan diiringipada pemakamannya duka juga ratapan tangis yang membanjiri sulaman pada pipi-pipimereka.

Selang beberapa lama. Aku kembali melihat dia. Dengan bajubiru yang ia kenakan.

Lambaian hatiku penuh iba. Rasa bersalah bermunculan dalamjiwa. Sehingga aku berlari dan mendekap dirinya.

Dan aku dapati torehan diwajahnya, menyibakkan banyak senyumbahagia diwajahnya..

Aku ingin lama. Sangat ingin lama. Dua insani yang telahterpisahkan ole dimensi yang berbeda dipertemukan dalam suatu ruang yangberbeda dari dimensi kehupan mereka masing-masing.

Pertemuan dengan berjuta senyum. Hingga kerinduan, luka,berguguran saat dekapan itu terjalin.

Erat. Sangat erat.

Aku tak berkata.

Hanya diam dan berharap waktu ini bergulir lebih lama.

 Hingga mataku terbuka, dan ia telah hilang tampa menilaskanjejak. kecuali hanya bayang lalu.

Ternyata waktu untuk pertemuan kali ini telah usai. Dan kamidikembalikan pada dimensi kami masing-masing.

Senin, 14 Oktober 2013

May intan gadis bunga






Bila datang anggara sajuna may intan. Ia kan terbarkan bunga pada setiap jalan.

Protokol-protokol berbunyi gersang ditengah padang sahara yang panas teriknya memekik kulit. Ia acuhkan, dan malah berlari menghampiri oase tengah lautan pasir. Berdampingan dengan  bunga yang ia angkut di siku tangannya.

Pada jemarinya ia sentuhkan air. Lalu bunga-bunga yang bemekaran hasill tanamannya, ia sirami agar bersemi, beranak, lalu saat ibunda kering biar benih-benih peranakannya meneruskan perjuangan sang ibu menghiasi lautan pasir.

Datang bong so’a. musuh bebuyutan may intan. Berkeliaran melototi gadis kecil yang terlukis manja pada mimik mukanya. Tapi may intan tak menggubrisnya paling si bongso’a hanya iri melihat dia bercanda gurau dengan bunga-bunganya.

“Hay may intan. Tak jemu-jemunya ya , kau bersandiwara dengan para buuungamu”

“Apa urusanmu bong’soa. Kau begitu perhatian padaku dan bunga-bungaku”

“Dasar gadis. Kau tak memikirkan dirimu. Bahwa kau bisa terjerat pusing jika berlama-lama berada di luar rumah. Dan bisa-bisa Nanti hitam kulitmu.”

“Biar. Siapa lagi kalo bukan aku yang mengempu para  tumbuhan .biar semerbak mewarnai kegersangan. Karna aku tahu kalian semua hanya mementingkan pekerjaan kalian sendiri, ketimbang tanaman bunga yang indah”.

“Hais dasar… gadis aneh. Gimana mereka mau berbuat sepertimu. Layakya mereka tak membutuhkan bermain tanaman seperti itu. Mereka sudah terjerat apa itu tanggung jawab memberi makan keluarga.

“Biarlah mereka. Dan aku tetap akan bersikukuh dengan kesukaanku. 

“Adaikata kau sudah menjadi ibu-ibu seperi mereka, apakau tetap akan seperti ini. Meladeni para bungamu.

“Suatu hari. Ketika aku telah menjadi seorang ibu, aku akan menanamkan pada anak-anak ku kecintaan pada tanaman-tanaman ini. Agar mereka menjadi penerus , manusia yang menghiasi gersangnnya desa ini. Dan kau pasti tahu. Setiap orang yang lewat sini pasti mampir untuk melihat bunga dan meminta air. Maka aku beri mereka air secukupnya, dan kulihat senyum-senyum mereka gembira. Memandangi  sang bunga, menjadiku tergugah untuk selalu meletarikan kehidupan bungan yang jarang hidup pada kegersangan ini.   Aku suka senyum para pejalan itu yang melewati oase ini. Tapi aku mengeryit kalo kau masih lama-lama disini bongso’a.

Lalu bongso’a pergi sambil mengernyitkan muka.

Sebanarnya bong’soa berniatan baik. Tapi may intan dari dulu berfikiran buruk terhadapnya. Sebab ada salah satu keluarga bongso’a yang mempunyai dendam kesumat pada paman may intan. Bertepatan dirinya sangatlah menyayangi pamannya.

Di desa itu, masih terlalu kolot. Melepas dendam dengan, membunuh, kala dendam itu sudah berada pada bibir puncak.
         Sedang dendam yang ditempu paman may intan, sudah menghampiri puncak. Hingga ia takut kalo-kalo may intan bersahabat dengan bongso’a dan diketahui keluarga yang mendedam, pembunuhan yang seharus bisa diulur bahkan di lunturkan, bisa langsung tercetus sebab pertemanan.
Dan bisa dikatakan may intan tidak membenci bongso’a, hanya ia pura-pura bersifar dingin dan beku padanya.

Bong’soa pergi semakin jauh dan semakin jauh laju langkahnya, sedang may intan hanya diam seraya terus memandanginya tanpa berpaling sedikitpun. Dalam sanubarinya bergema celoteh kejujuran si may intan

“bong’soa. Jangan pergi. Jujur aku sangat ingin berbicara lama juga berteman denganmu. Namun apa dayaku. Walau kau selalu menyapaku dengan wajah masam lagi bertanya ketus aku sangat bahagia. Karna hanya kamu yang mau berbicara padaku, kala para sahabat sebaya begitu memincingkan tingkahku yang selalu menyendiri dengan para bunga. Bukan menyendiri. Tapi karna disendirikan aku jadi menyendiri dengan para bunga.

Engkau tahu sendiri pastinya. Status sosialku didesa ini begitu rendah, sedang engkau, juga keluargamu begitu dihormati dan diagungkan. Hingga dengam kesumat paman tercintaku pada salah seorang keluargamu, menjadikan masyarakat membenci keluargaku. Hingga para gadis-gadis sebaya, juga para kawanan sebaya lelaki, seringkali mengacuhkanku, mengusirku. Dan tak jarang ketika di keramaian aku digilis kesendirian, karna mereka menyingkir berdekatan denganku. Malangnya aku. Mungin awalnya mereka tak ingin, tapi karna terbiasa mereka jadi biasa berbuat seperti itu.

Tapi bunga, kau mencintaiku. Kau tak melihat setatus derajat ku seperti apa. Dan kau bongso’a, wajah masammu, dan ketusnya suara bicaraku, aku anggap itu lantunan persahabatan. Yang mungkin hanya aku manusia seorang, yang mengetahuinya. Sedangkan kau menganggapnya apa. Sungguh aku tidak mengetahuinya. Kuharap kau juga begitu.”

May intan yang datang menebarkan bunga, bukan berarti ia menaburkan bunga-bunga di jalanan. Melainkan ia sering kali merangkul bunga-bunganya yang telah bermekaran sehabis ia petik, ia bawa kemana-mana untuk menemaninya. Hingga bunga itu layu, ia menjadikan layunya sebagai pupuk bagi bunga-bunga yang peranakan,  bunga yang akan dan yang sedang bermekaran.

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...