Selasa, 21 Oktober 2014

kecup tangan

jangan kau cium tangan ini dek. karena tangan ini tak sesuci tangan-tangan mereka.
Telah terlumuri noda hitam di kedalaman diri hingga menjelmakan rasa keengganan untuk tercium wajah suci dan bersihmu.

sampai kapan selosong noda ini akan terbagi, entah kan hilang dalam sekejap atau berwaktu-waktu, mungkin terus bersanding mewaktu sampai jejal itu terberitahu hilang atau terhancurkan.

Senin, 20 Oktober 2014

Jebak



Oleh siang aku dijebak. Panas terikpun tak terpeduli. Peduliku pada dengarku. Mencoba mengerti apa dan bagaimana, sampai aku tak mengerti sampai aku menocoba mengerti aku sungguh sangat pusing sekali.

Betapa keyakinanku tak ku cerna. Aku kehilangan aku. “Aku ternyata hidup”. Sepert baru saja tersadar ternyata ber eksistensi.

Tapi kepahamanku sepertinya melupa. Atau memang tak mencoba menggali.
Ya…..   aku kehilangan diri…..   lama sekali…..  

Kini  tiba-tiba ada bisikan kata bahwa yang terperlu  adalah   “Yakin pada diri sendiri”  bukan memilih atas tak pengertian, bukan terpengaruh atas keikutan tak terfahami. manusia adalah pribadi subjeck , si individualis bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, jangan selalu di objeck dalam memahami….

 Diri adalah subjeck bagi diri. Seringkali terlena olehh yang lain sehingga diripun terlupa.
Fahami aku, mauku , alasan dan bebasku….. dan bertanggung jawablah. Jangan salahkan siapun atas pilihan itu. Dan pilihlah sebaik mungkin……

Siang si panas pada kemarauan, kini kau tak sekedar musim bisu tanpa alasan.

Senin, 13 Oktober 2014

Mengisi kata pada yang tak terkata



Raut wajah berubah. Suasana menghitam, aura mencekam. Seperti angin yang menggelinding di cekat pekat malam, begitu dingin dan kaku tapi tidak bisu karena suara-suara tetap terusaha untuk terjelma untuk mencipta suasana baru yang lebih cair.

Tapi kepulan asap tersebar memenuhi ruangan. Diam ku terpaku tak berontak karena ku tahu aku dari kekalahanku dan kurasa ini penghargaan. “Bukan ingin dihargai tapi mencoba menghargailah”

Suasana menghitam kemudiam cair kala mereka dan aku tak peduli dengan suasana yang ada, Cuek. kita berjalan apa adanya tak perlu mencipta kisruh, tak perlu menghina, cukup diam atau bicara seperlunya atau basa-basi pengundang damai, jalani, rasakan dan kembali pada apa yang sebenarnya ingin dilakukan.

hahaha.....  sepertinya aku terlalu berlebihan. kejadian sebernarnya tak seperti khayal cipta ilusiku. 

bermain sandiwara di sore hari pada beberapa detik.....   mencipta kata pada yang tak terkata-kata.... 
tapi serius suasananya mencekam sekali.....   "kurasa begitu"

Senin, 06 Oktober 2014

":D"



Di saat kesuntukan merajam. Menusuk-nusuk diri tanpa prihatin. Mati peduli, inginnya mengumbar kemarahan. Mulut susah berdiam dari komat-kamit kata tak indah tuk didengar. Degup hatipun menselaraskan, ia jadi brutal, selaksa menendang dinding-dinding organ. Sekejam getaran kemarahan menyebar ke penjuru tubuh. Pun dapat dirasai getarnya hanya dengan merasakannya, tak perlu devinisi kata.
Seperti air yang tanpa sengaja jatuh di percikan api. Memadamkan kobarannya serta merta.
Saat mata tak sengaja menatap perangai manusia yang terdiam dalam pandangan, yang tak terdengar sebisik katapun meski ia berkata
Bola matanya pun tak jelas namun aku yakinkan dalam diriku itu dia.
Bukan hanya dia, tapi kerumunan manusia yang memandangi si sapi, yang mencincangnya. Mereka dan dia seperti air cahaya yang menerbitkan mentari dalam lubuk sang hati.
Begitu lirih, dan begitu berguna hingga sang sukma pun menjadi tersenyum karnanya.

Jumat, 03 Oktober 2014

Tanya?



Perangai sandiwara bergejolak di antara senyuman palsu pada anyaman lesung bibir. Bertabrakan dengan akar rasa yang mudah tak mengertinya. Mencoba menglogikanya, membahasakannya hanya terucap kata terbata.
Sampai kapan harus menuai kebekuan?
Atau sedang menunggu kebencian  untuk mencaci maki?
Menunggu kepasrahan untuk tidak terucap lagi?

Kobaran kata dan ilusi berkutat sinis di mendiang kepala. Rakusnya imajinasi membawa khayal pada satu panorama yang terulang walau dengan waktu berbeda.
Kata yang sama. Hanya saja sedang kebingungan dalam jawabnya.
Imajinasi yang tercipta adalah mencoba mencari jawabnya.
Realialitanya terwujud dalam “sekali lagi”, kebingun kata.
Apa yang ku jawab?

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...