Jumat, 30 Mei 2014

nggk jelas

terposisikan dalam perandaian. wajah yang hanya permainan sandiwara belaka, saat memilih memandang dan menatap. hingga memilih terjatuh ke lubang yang sama atau melarikan diri hanya dengan keterpalingan.

saat wajah itu tak memberi suara, hanya kedipan mata diamnya yang selalu yang tertera, maka berlari saja.

berlari....  bukan kaki yang menggerakkan jari-jemarinya...  tapi angan biar berlari.

Kamis, 15 Mei 2014

BUnga





29-appril-2014
R alinta haura

Saat hati bicara. Aku ingin mengatakan dengan rasa. Tanpa kata dan suara yang ada hanya rasa. Biar detakan rasa mengatakan pada seantero jasmaniku tentang rasa itu. Maka hanya dengan mereka para penduduk dalamku merasakannya mereka kan mengerti ma’nanya tanpa harus berkata-kata.

Aku lumpuh oleh rasa yang kerap kali ditusukkan oleh keanehan dirinya . Tak pernah aku duga sang pemilik keanehan atau ke chasan itu hadir dalam hidupku. Tanpa dia memberi sesuatu padaku maka sering kali aku merasa diberinya banyak hal.

Ia juga memberi dua hal tanpa harus memberi. Kekuatan cinta yang menghidupi ku dalam sengatan semangatnya dan sakitnya saat ia mendekati sosok lain selain diriku.

Kerapku terjerat olehnya dan bahagia olehnya. Tapi keterbalikan dari itu juga kurasa. Hingga kuputuskan untuk selalu mengubur rasa dan selalu mengubur rasa karena mungkin rasa miliknya adalah untuk orang lain.

Aku tak ingin rasa ini di ketahuinya. Karena ku takut ia tak berkenan dengan rasa ini, meski aku sangat ingin mengatakannya.

Namun  semakin ku kubur rasa , entah mengapa ia malah tubuh bermekaran dalam ketersembunyiaan. Semerbak wangi sangat harum wanginya hingga aroma itu melumpuhkan sendi-sendi yang tegap berdiri dalam diriku. Fikirku jadi lumpuh, logika jadi lebih buta. Semakin membuta dan membuta kala wajah nya selalu tertampak dalam fikirku.  Hingga ku merasa aku menjadi sedikit lebih gila dari biasanya.
                 “Sanny”
                Panggilan itu membangunkan ku dari dialog ku tanpa kata dengan diriku.
                 
Sontak langsung ku tatap wajah orang yang memanggilku. Ternyata ia Laima dengan bunga mawar indahnya yang kerap kali ia bawa pada tangannya.
                “Ada apa ? “ Tanya ku dengan sedikit senyuman untuknya.
                “TIdak apa-apa”  dan ia berlalu begitu saja.
                Laima, aku tak mengerti apa yang ada dalam benak gadis itu. Mengapa ia sering kali memanggilku tanpa ada suatu tujuan tertentu. Lalu berlalu begitu saja tanba memberi penjelasan.
                Wangi bunga mawar yang sering ia bawa selalu memberi tilas wanginya saat ia pergi seperti juga meninggalkan tilas ketiadaan penjelasan.
                Taman yang semula ramai kini telah kosong sepi. Hanya kicauan burung yang tersisa dan para dedaunan yang menari-nari dalam gugurnya dari ranting-ranting tinggi. Ia turun ke bumi dengan membelah udara. Tak jarang ia berganti halauan karena terseret angin lembut tubuh ringannya.
               
 Aku beranjak dari kursi taman dengan meninggalkan sejuta lamunanku disana
               
                                                                              ***

                Tangan ku melambay, memberhentikan angkutan umum yang akan melewatiku.
                 
Aku melangkah lewati bibir pintunya, lalu sengaja memilih tempat duduk paling belakang. Karena melilhat angkutan masih kosong tanpa manusia. Dengan itu mungkin kalau ada penumpang lain aku tak perlu menggerser tubuhku ke sana dan kemari.
                Wajahku tertunduk seperti manusia tiada memiliki harapan hidup. Tubuh yang kusangga merapuhkan dirinya. Rasanya begitu lemas. Punggungku tanpa ada energy, ku sandarkan pada tembok angkot.
                “Ada apa bang. Kok lesu”
                Fikiran kosong ku tersadar lalu menoleh pada suara yang memanggilku.
                Angkutan ini hanya ada dua orang saja, aku dan sang supir. Lalu suara siapa yang memanggilku. Begitu tak asing suara nya.  Lembut, chas dan seperti suara wanita.
                Aku celingukan mencari suara itu . ku pandangi kepenjuru angkutan itu, tak ada orang selain aku dan pak sopir.
                “Disini bang yang manggil”.  Sopir itu menoleh ke belakang saat lampu bangjo merah menyala.
                Wajah nya putih namun menggucurkan keringat. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis berhias senyuman. Dan ada bunga, berada di dekat kaca mobil angkutannya.
                “ lohh, Laima. Kamu kok jadi supir angkot” tanyaku pelan dengan mataku yang masih memberi bekas kejut.
                “LOh, sanny  lagi nyadar tho. Kayaknya udah naik angkot ini puluhan kali kok nggak nyadar kalo saya yang nyetir.  Wah ini nggak beres nich”
                “Nggak beres gimana?”
                “logikamu kayaknya lumpuh. Kalo boleh saya tebak pasti karena terbayang terus dengan si dia”
                Aku hanya terdiam mendengar tebakan jitu Laima.
                Melihat ku hanya terdiam tanpa membalas jawaban, mungkin ia merasa mengerti bahwa tebakannya benar.
                “Wanita seperti apa sich, yang bisa melumpuhkan logikamu”
                Mulutku terkunci rapat. Pipiku sepertinya lebih memerah, dan hati ku menjadi berdetak lebih cepat.
                Rasa ingin bercerita tentang perempuan yang selalu terbayang dalam anganku. Agar umpatan penatnya dalam fikirku bisa terbang bersatu dengan semesta hingga tak perlu lagi menggupal penat dalam diriku.
                Aku menawarkan pada  gadis itu tentang cerita ku. Maka dengan senang hati ia menerima tawaran yang ku ajukan. Dan hal itu malah membuat hatiku semakin berdetak lebih keras, karena aku akan menceritakan perihal perempuanku.
                “Bo…  bolehkah aku memuntahkannya” tanyaku padanya dengan terbata
                “Bila aku adalah orang yang bisa engkau percaya, mengapa tidak?”
                Melihat dari kebiasaan dirinya pada orang-orang, sepertinya ia adalah orang yang bijaksana dan bisa menerima, bahkan membantu.

                Wajahnya putih bersih, meski banyak sekali goresan perjuangan dalam hidupnya. Dan tatapan mata yang terberikan seolah tiada kesepian dan datar, namun aku menduga ada sesuatu yang terjadi dalam dirinya hingga membentuk kepribadiaannya sekarang. Rambutnya panjang dan sering ia kuncir ke belakang. Dia itu orangnya pendiam bila berada di sekitar teman-temannya, namun sekali ia berkata maka ia kan didengarkan karena tak ada satu pun yang meragukan betapa berbobotnya isi katanya. Sering kali aku melihatnya ia menolong. Kurasa ia adalah orang yang baik.
                 Dan aku sering terbangun akannya tanpa ia membangunkanku, dengan kelakluannya pada orang lain, hingga kerap ku menirukannya meski dengan cara yang berbeda. Dia sangat murah senyum. Dia sering diam dengan memberikan wajah datar walau dalam kedataran itu sepertinya ia banyak memikirkan sesuatu.
                “Lalu?”
                Dengan  sedikit terbata  dan grogi aku mencoba meneruskan ceritanya.
                Dia sederhana dalam berpakaian. Dia menyukai anak-anak, aku berkesimpulan begitu saat ku lihat dia begitu bahagia berdekatan dengan anak-anak kecil yang sedang bermain.
                Laima tetap focus mendengarkan cerita, meski disisi lain ia tetap focus dalam menyetirnya.
                “Hem, sepertinya aku mulai mengerti siapa dia. Teruskan aku ingin dengarkan ceritanya”
                Hati ku semakin berdengyut kencang. Aku takut kalau ia tahu siapa perempuan hingga ia memberitahukan padanya.
                Dan jujur aku merasa lebih lega dengan bercerita, meski denyut jantungku semakin kencang berdentak.
                “dan Di,dia aneh” suaraku tercekat dengan ke grogianku yang semakin menguasai diriku, hingga ku terdiam sejenak.

                “ANeh?.  Aneh kenapa?” tanyanya karena mendengar sunyi yang terjadi tiba-tiba.
                “Karena tiba-tiba dia memanggilku tanpa suatu alasan. Lalu berlalu begitu saja”
                Tiba-tiba suana bertambah hening setelah jawaban itu. Tak ada kata dariku ataupun Laima.
Hanya suara para pengendara lain yang berlalu lalang, juga asap-asap yang menggumpal bercampur angin yang meniupkannya ke arah kami.     
                Dalam hatiku sedikit berbisik. “ mengapa tiada penumpang yang mau naik”
               
                “APa alasanmu menyukainya” suara laima yang tiba-tiba membelah sunyi diantara kita berdua.
                “A…aku tidak tahu. Mu.. mungkin keanehan , kepribadiaannya yang membuatku begitu men-mencintainya” jawabku sedikit tergesa dengan di bumbui kegagapan kata.
                Wajahku menjadi merunduk kembali setelah beberapa menit ku berani menegakkan kepala dan badanku sesaat setelah ia mempersilahkan ku memuntahkan semuanya.
                “Berikan aku satu cirri-ciri lagi yang menjadi chas bagi dirnya. Nanti akan aku sampai hal ini padanya”
                Mataku memberi member tajam, beriringan wajah ku yang menggambarkan kejut.Dalam hatiku kembali menggrutu. “mungkinkah ia sudah tahu siapa orang yang ku maksud”
“AKu tidak mengerti mengapa ia kemana-mana selalu membawa bunga. Dan selalu meninggalkan wanginya, dan ketiadaan penjelasan”
                “Oke, aku akan mengatakan pada orang itu. Dan mungkin jawaban  yang diberikan nya adalah”
                Laima terdiam sebentar. Membuat wajah ku menilik kearahnya. Sambil memaparkan paras pengemis yang meminta uang. Bedanya, aku minta jawaban.
                “Adalah,dia juga menyukai mu, bahkan mungkin lebih dari mu mencintainya. Karena sepertinya dia sudah menyukaimu sejak kecil. Bunga yang selalu ia bawa adalah sebuah ungkapan bahwa dirinya menyembunyikan rasa itu di sela wanginya, biar suatu hari bunga itu yang memberitahukannya”
                Laima menjelaskan dengan biasa, seperti pada kawan-kawannya ketika menjelaskan. Tak ada keraguan atau gentar dalam setiap tutur yang terberikan.
                “Tidak logis”
                “Ya begitulah cinta. Tidak logis adanya. Bahkan cara mengungkapkannya pun terkadang tak logis pula. Atau bisa di kata, aneh”
                Aku memberhentikan angkotnya, melihat gang menuju rumah ku sudah sampai di depan mata. Kuberikan uang pembayaran itu padanya sambil memberi ucapan terima kasih karena dia telah bersedia mendengarkan ceritaku juga mau menyampaikan pesan pada perempuan ku.
                “Tentu saja” jawabnya dengan enteng seperti biasa.
                Kami tertawa bersama, memberi bahasa tanpa kata namun hanya kami yang merasakannyalah mengerti apa maksudnya.
                “Laima. Aku minta tolong satu kali lagi”
                “Bila aku bisa membantu” jawabnya dengan sebilah senyum yang menyibak banyak ketulusan.
                “APa alasan dia juga menyukaiku”
                “Hem….  Sepertinya jawabannya seperti mu. Tak perlu ada alasan untuk menyukai. Hanya saja ia memiliki alasan untuk untuk tetap mempertahankan rasa itu, hingga saat ini”
                Laima pergi begitu saja, seperti halnya ia memanggil ku dalam lamunanku akan diri perempuan itu . Hanya saja untuk kali  ia tak hanya meninggalkan wangi bunga , namun penjelasan  juga meninggalkan tilas rasa yang ia sembunyikan pada sela-sela bunga nya padaku.




Senin, 05 Mei 2014

Tanaman



ketika menanam, benih-benih itu mulai bertumbuhan. dengan bahagianya ia di pupuki, di sirami. bukan untuk buahnya, hanya saja bahagia saat melihat tanaman itu tumbuh dengan kehijauannya. Namun ternyata ia menjadi kering dan layu setelah mekarnya beberapa waktu saja. Maka tanaman itu berguguran hingga menghilang.
 Rasanya sedih,  melihat betapa indah mekarnya setelah berhari-hari dalam penungguan memandangi tumbuhnya lalu menjadi layu.

kesedihan yang ada tak sebanding dengan kebahagian saat menungguinya dalam mekar. kesedihan yang ada terlalu menusuk, hingga membakar jiwa-jiwa yang ada.

kata orang (,mungkin)  gila, alay. HAnya karena layu dan hilangnya tanaman, hanya karena tanaman, membuat jiwa jadi kacau.

"APa sebaiknya,  tak perlu menanam hingga tak perlu merasakan kehilangan?"

BElajar jadi "CAh cinta"




MEncintai dia memberi arti untuk mencintai-MU

Seperti ketika mencintai dia,  itu belajar untuk mencintai-Mu.
Kala ku bertemu dia

Bibirku menjadi bungkam. Gerakku jadi tak leluasa, tapi hatiku begitu khusuk memandangi dan mendengarkan suara dia.

Diriku menjadi beku, fikiranku jadi melumpuh untuk berfikir.
Aku menjadi bodoh di dekatnya, aku menjadi pincang di dekatnya, aku menjadi lemah di dekatnya.
Dan aku menjadi pendiam didekatnya.

Melihat dan mendengar selalu ku inginkan meski ku tahu, aku akan melakukan hal-hal itu bila bertemu dengan dia.

Aku ingin bisa mencintai-MU Robby seperti mencitai dia. Bahkan melebihi rasa cintaku pada dia.

Agar aku termasuk, menjadi golongan para pecinta yang hatinya tak pernah sekarat”

Maka bila ku mencintai-MU, maka tak perlu menunggu untuk bertemu, karena Engkau dekat, dan lebih dekat dari urat nadi manusia

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...