29-appril-2014
R alinta haura
Saat hati bicara. Aku ingin
mengatakan dengan rasa. Tanpa kata dan suara yang ada hanya rasa. Biar detakan
rasa mengatakan pada seantero jasmaniku tentang rasa itu. Maka hanya dengan
mereka para penduduk dalamku merasakannya mereka kan mengerti ma’nanya tanpa
harus berkata-kata.
Aku lumpuh oleh rasa yang kerap
kali ditusukkan oleh keanehan dirinya . Tak pernah aku duga sang pemilik keanehan
atau ke chasan itu hadir dalam hidupku. Tanpa dia memberi sesuatu padaku maka
sering kali aku merasa diberinya banyak hal.
Ia juga memberi dua hal tanpa harus
memberi. Kekuatan cinta yang menghidupi ku dalam sengatan semangatnya dan sakitnya
saat ia mendekati sosok lain selain diriku.
Kerapku terjerat olehnya dan
bahagia olehnya. Tapi keterbalikan dari itu juga kurasa. Hingga kuputuskan
untuk selalu mengubur rasa dan selalu mengubur rasa karena mungkin rasa
miliknya adalah untuk orang lain.
Aku tak ingin rasa ini di
ketahuinya. Karena ku takut ia tak berkenan dengan rasa ini, meski aku sangat
ingin mengatakannya.
Namun semakin ku kubur rasa , entah mengapa ia malah
tubuh bermekaran dalam ketersembunyiaan. Semerbak wangi sangat harum wanginya
hingga aroma itu melumpuhkan sendi-sendi yang tegap berdiri dalam diriku.
Fikirku jadi lumpuh, logika jadi lebih buta. Semakin membuta dan membuta kala
wajah nya selalu tertampak dalam fikirku.
Hingga ku merasa aku menjadi sedikit lebih gila dari biasanya.
“Sanny”
Panggilan itu membangunkan ku
dari dialog ku tanpa kata dengan diriku.
Sontak
langsung ku tatap wajah orang yang memanggilku. Ternyata ia Laima dengan bunga
mawar indahnya yang kerap kali ia bawa pada tangannya.
“Ada apa ? “ Tanya ku dengan
sedikit senyuman untuknya.
“TIdak
apa-apa” dan ia berlalu begitu saja.
Laima,
aku tak mengerti apa yang ada dalam benak gadis itu. Mengapa ia sering kali
memanggilku tanpa ada suatu tujuan tertentu. Lalu berlalu begitu saja tanba
memberi penjelasan.
Wangi
bunga mawar yang sering ia bawa selalu memberi tilas wanginya saat ia pergi
seperti juga meninggalkan tilas ketiadaan penjelasan.
Taman
yang semula ramai kini telah kosong sepi. Hanya kicauan burung yang tersisa dan
para dedaunan yang menari-nari dalam gugurnya dari ranting-ranting tinggi. Ia
turun ke bumi dengan membelah udara. Tak jarang ia berganti halauan karena
terseret angin lembut tubuh ringannya.
Aku beranjak
dari kursi taman dengan meninggalkan sejuta lamunanku disana
***
Tangan
ku melambay, memberhentikan angkutan umum yang akan melewatiku.
Aku melangkah
lewati bibir pintunya, lalu sengaja memilih tempat duduk paling belakang.
Karena melilhat angkutan masih kosong tanpa manusia. Dengan itu mungkin kalau
ada penumpang lain aku tak perlu menggerser tubuhku ke sana dan kemari.
Wajahku
tertunduk seperti manusia tiada memiliki harapan hidup. Tubuh yang kusangga
merapuhkan dirinya. Rasanya begitu lemas. Punggungku tanpa ada energy, ku
sandarkan pada tembok angkot.
“Ada
apa bang. Kok lesu”
Fikiran
kosong ku tersadar lalu menoleh pada suara yang memanggilku.
Angkutan
ini hanya ada dua orang saja, aku dan sang supir. Lalu suara siapa yang
memanggilku. Begitu tak asing suara nya.
Lembut, chas dan seperti suara wanita.
Aku celingukan mencari suara itu .
ku pandangi kepenjuru angkutan itu, tak ada orang selain aku dan pak sopir.
“Disini
bang yang manggil”. Sopir itu menoleh ke
belakang saat lampu bangjo merah menyala.
Wajah
nya putih namun menggucurkan keringat. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis
berhias senyuman. Dan ada bunga, berada di dekat kaca mobil angkutannya.
“ lohh,
Laima. Kamu kok jadi supir angkot” tanyaku pelan dengan mataku yang masih
memberi bekas kejut.
“LOh, sanny
lagi nyadar tho. Kayaknya udah naik
angkot ini puluhan kali kok nggak nyadar kalo saya yang nyetir. Wah ini nggak beres nich”
“Nggak
beres gimana?”
“logikamu
kayaknya lumpuh. Kalo boleh saya tebak pasti karena terbayang terus dengan si
dia”
Aku
hanya terdiam mendengar tebakan jitu Laima.
Melihat
ku hanya terdiam tanpa membalas jawaban, mungkin ia merasa mengerti bahwa
tebakannya benar.
“Wanita
seperti apa sich, yang bisa melumpuhkan logikamu”
Mulutku
terkunci rapat. Pipiku sepertinya lebih memerah, dan hati ku menjadi berdetak
lebih cepat.
Rasa
ingin bercerita tentang perempuan yang selalu terbayang dalam anganku. Agar
umpatan penatnya dalam fikirku bisa terbang bersatu dengan semesta hingga tak
perlu lagi menggupal penat dalam diriku.
Aku
menawarkan pada gadis itu tentang cerita
ku. Maka dengan senang hati ia menerima tawaran yang ku ajukan. Dan hal itu
malah membuat hatiku semakin berdetak lebih keras, karena aku akan menceritakan
perihal perempuanku.
“Bo… bolehkah aku memuntahkannya” tanyaku padanya
dengan terbata
“Bila
aku adalah orang yang bisa engkau percaya, mengapa tidak?”
Melihat
dari kebiasaan dirinya pada orang-orang, sepertinya ia adalah orang yang
bijaksana dan bisa menerima, bahkan membantu.
Wajahnya
putih bersih, meski banyak sekali goresan perjuangan dalam hidupnya. Dan
tatapan mata yang terberikan seolah tiada kesepian dan datar, namun aku menduga
ada sesuatu yang terjadi dalam dirinya hingga membentuk kepribadiaannya
sekarang. Rambutnya panjang dan sering ia kuncir ke belakang. Dia itu orangnya
pendiam bila berada di sekitar teman-temannya, namun sekali ia berkata maka ia
kan didengarkan karena tak ada satu pun yang meragukan betapa berbobotnya isi
katanya. Sering kali aku melihatnya ia menolong. Kurasa ia adalah orang yang
baik.
Dan aku sering terbangun akannya
tanpa ia membangunkanku, dengan kelakluannya pada orang lain, hingga kerap ku
menirukannya meski dengan cara yang berbeda. Dia sangat murah senyum. Dia
sering diam dengan memberikan wajah datar walau dalam kedataran itu sepertinya
ia banyak memikirkan sesuatu.
“Lalu?”
Dengan sedikit terbata dan grogi aku mencoba meneruskan ceritanya.
Dia sederhana dalam berpakaian.
Dia menyukai anak-anak, aku berkesimpulan begitu saat ku lihat dia begitu
bahagia berdekatan dengan anak-anak kecil yang sedang bermain.
Laima
tetap focus mendengarkan cerita, meski disisi lain ia tetap focus dalam
menyetirnya.
“Hem,
sepertinya aku mulai mengerti siapa dia. Teruskan aku ingin dengarkan
ceritanya”
Hati ku semakin berdengyut
kencang. Aku takut kalau ia tahu siapa perempuan hingga ia memberitahukan
padanya.
Dan
jujur aku merasa lebih lega dengan bercerita, meski denyut jantungku semakin
kencang berdentak.
“dan
Di,dia aneh” suaraku tercekat dengan ke grogianku yang semakin menguasai
diriku, hingga ku terdiam sejenak.
“ANeh?. Aneh kenapa?” tanyanya karena mendengar sunyi
yang terjadi tiba-tiba.
“Karena tiba-tiba dia memanggilku
tanpa suatu alasan. Lalu berlalu begitu saja”
Tiba-tiba
suana bertambah hening setelah jawaban itu. Tak ada kata dariku ataupun Laima.
Hanya suara para pengendara lain yang berlalu lalang, juga asap-asap
yang menggumpal bercampur angin yang meniupkannya ke arah kami.
Dalam
hatiku sedikit berbisik. “ mengapa tiada penumpang yang mau naik”
“APa
alasanmu menyukainya” suara laima yang tiba-tiba membelah sunyi diantara kita
berdua.
“A…aku
tidak tahu. Mu.. mungkin keanehan , kepribadiaannya yang membuatku begitu men-mencintainya”
jawabku sedikit tergesa dengan di bumbui kegagapan kata.
Wajahku
menjadi merunduk kembali setelah beberapa menit ku berani menegakkan kepala dan
badanku sesaat setelah ia mempersilahkan ku memuntahkan semuanya.
“Berikan
aku satu cirri-ciri lagi yang menjadi chas bagi dirnya. Nanti akan aku sampai
hal ini padanya”
Mataku
memberi member tajam, beriringan wajah ku yang menggambarkan kejut.Dalam hatiku
kembali menggrutu. “mungkinkah ia sudah tahu siapa orang yang ku maksud”
“AKu tidak mengerti mengapa ia
kemana-mana selalu membawa bunga. Dan selalu meninggalkan wanginya, dan
ketiadaan penjelasan”
“Oke,
aku akan mengatakan pada orang itu. Dan mungkin jawaban yang diberikan nya adalah”
Laima terdiam sebentar. Membuat
wajah ku menilik kearahnya. Sambil memaparkan paras pengemis yang meminta uang.
Bedanya, aku minta jawaban.
“Adalah,dia juga menyukai mu,
bahkan mungkin lebih dari mu mencintainya. Karena sepertinya dia sudah
menyukaimu sejak kecil. Bunga yang selalu ia bawa adalah sebuah ungkapan bahwa
dirinya menyembunyikan rasa itu di sela wanginya, biar suatu hari bunga itu
yang memberitahukannya”
Laima
menjelaskan dengan biasa, seperti pada kawan-kawannya ketika menjelaskan. Tak
ada keraguan atau gentar dalam setiap tutur yang terberikan.
“Tidak
logis”
“Ya
begitulah cinta. Tidak logis adanya. Bahkan cara mengungkapkannya pun terkadang
tak logis pula. Atau bisa di kata, aneh”
Aku
memberhentikan angkotnya, melihat gang menuju rumah ku sudah sampai di depan
mata. Kuberikan uang pembayaran itu padanya sambil memberi ucapan terima kasih
karena dia telah bersedia mendengarkan ceritaku juga mau menyampaikan pesan
pada perempuan ku.
“Tentu
saja” jawabnya dengan enteng seperti biasa.
Kami
tertawa bersama, memberi bahasa tanpa kata namun hanya kami yang
merasakannyalah mengerti apa maksudnya.
“Laima.
Aku minta tolong satu kali lagi”
“Bila
aku bisa membantu” jawabnya dengan sebilah senyum yang menyibak banyak
ketulusan.
“APa
alasan dia juga menyukaiku”
“Hem…. Sepertinya jawabannya seperti mu. Tak perlu
ada alasan untuk menyukai. Hanya saja ia memiliki alasan untuk untuk tetap
mempertahankan rasa itu, hingga saat ini”
Laima pergi begitu saja, seperti
halnya ia memanggil ku dalam lamunanku akan diri perempuan itu . Hanya saja
untuk kali ia tak hanya meninggalkan
wangi bunga , namun penjelasan juga meninggalkan
tilas rasa yang ia sembunyikan pada sela-sela bunga nya padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar