Selasa, 17 Juni 2014

Lihat kasih sayang


Apa kasih sayang harus dengan kelembutan?
Apa kasih sayang harus dengan senyuman?

Namun yang ku lihat dari gadis kecil itu tak seperti itu.

Matanya terpandangi tajam. wajahnya kekanak-kanakan selaras umurnya. Duduk berdekatan orang-orang dewasa dengan sekotak snack miliknya. Tak peduli siapa orang-orang yang berada di hadapannya dia makan dengan santainya. Omongan-omongan dewasa terumbar ia tetap makan dan tetap diam.

Tanya salah satu dari orang dewasa. “ hey kenapa kau diam. Biasanya kau cerewet, kalo ada teman laki kecilmu?”

Gadis kecil itu hanya diam saja dan tetap meneruskan makan. Hanya menjawab beberapa patah kata jika hal itu memang perlu tuk di jawab.

Kau tahu dimana kawan kecilnya?   “ya…  dia sedang pergi ke suatu tempat”.

Setiap hari gadis itu selalu bermain dengan lelaki kecil  yang membuatnya tak bungkam. Setiap hari bermain setiap hari berantem pula. Dan sering kali marahan pula. Namun bila salah satunya tidak ada, maka akan mencarinya.

Meski mereka tahu pertemuan mereka untuk bermain, berantem dan marahan bahkan hingga tertuai tangis, mereka tetap mencarinya!!!!

RIndu


Setiap kerinduan melahirkan kegelisahan, setiap kegelisahan melahirkan rasa taku. Sumpah Tuhan dengan matahari yang naik sepenggalah, dimana cahaya terangnya menerangi ke pejuru, tanpa terlalu terik, tanpa terlalu menyengat, hingga cahayanya memberikan kesegaran, kenyamanan. Bahwa Tuhan tak membenci apalagi meninggalkan manusia seperti baginda. kegelisahan begitu menjamur segar dalam dirinya, tetang kerinduan sebuah penugguan ayat-ayat cinta dari-Nya yang tak jua turun beberapa hari berjalan. Maka lahirlah rasa takut...  apa tuhan membencinya.

Tapi sumpah hadirnya matahari sepeggalah,sambil merangkul penjelasan, begitu mengobati. Bahwa itu menjadi sebuah bukti Tuhan mencintai baginda, Tuhan tidak meninggalkan baginda

Wa dhuha

Selasa, 10 Juni 2014

Senyum itu


Suara berteriak-teriak di jalan tepat berada di dekatku. Terbungkam suaranya sekejap untuk menyapa lembut padaku saat tahu akumelawatinya. Senyum yang tertuai begitu alami, tak dibuat-buat. Bahkan takpedih, tak ada raut keluh pada kehidupan, meski di punggungnya menggendong satukasur besar menatap langit dan menggelantung di bahunya bantal dan guling.

Ia meneruskan kembali panggilan-panggilan pada warga tentangkasur bantal dan gulingnya, dengan semangat pagi yang membara segar setelahsenyum indah itu terucap untuk ku,

Tak ada warga yang mencoba menghampirkan ia kerumahnya,karena mungkin saja zaman telah berganti. Kasur kapuk kini bukan lagi jadipilihan kalau  spring bed empuk sudahcukup menggantikan.

senyum itu, ya, senyum itu....

senyum di antara perjuangan, dan kerasnya kehidupan, tetaptertuai segar walau siang masih banyak memberi tantangan yang lebih kejam, tapisenyumnya begitu siap untuk menerima itu semua.

 ketika langkahkuharus berpisah dengan nya, pada beloknya jalanku dan lurusnya jalan yang iatempuh, maka aku berlari mencari sela untuk mendengar dan melihat ibu-ibupenjual kasur itu satu kali lagi .

Biar semangatnya memberi sengatan dalam jiwa ku. Dan senyumnyamenjadi guratan pada lembaran sunyi di gudang penyimpanan ma’na dalam diriku. Agarsuatu hari aku bisa membaca kembali tentang semangat nya, dan kembali memberisengatan itu padaku.

Kamis, 05 Juni 2014

Pengemis senja



Di ujung senja, si pengemis hanya melewatinya. Bagaimana matahari yang gagahnya itu semakin bersembunyi sambil mengurangi jeritan teriknya. Semburat ungu begitu mewarnai cakrawala, karena pucat ketidak ceriaan langit, sedang bisu hingga pancar indahnya tak perlu ragu lagi. Langkah tak hanya berdiam diri hanya terlena dengannya. Ia indah, tapi ada yang lebih indah dari itu." Menggais ma'na pada mepet senja".

SI Pengemis berjalan jauh bukan halangan demi mengisi wadah yang kering di terpa keadaan.basuhan-basuhan kata berbentuk nada, memberi sedikit makanan pada wadah yang mengemis. Aliran itu mengalir di dalam wadahnya, meninggalkan pada sendi-sendinya bahwa balutan alirnya begitu tenang terasa .

Walau malam telah menelan siang, maka mata dan dengar masih mau memancar,karena luapan nadanya begitu menghias pada kekeringannya.

Sore tak pernah letih memberi cerita yang berbeda, meski tempat yang sama dan para mata-mata, pendengaran dan suara yang sama. Meski pertemuan selalu bersambung oleh perputaran waktu yang semakin larut, tapi berharap untuk tanya pada hari berikutnya biar tercanang dalam dada, agar si pengemis itu tersirami kembali wadah keringnya.

"Ala bizhikrillahi tatmainnul QUlub"

senang bertengkar denganmu

Pernahkah kau bertengkar? Apa kau menyesalinya? Dan bila itu terjadi padaku aku tak akan menyesalinya. Indahnya pagi setelah kutempuh malam ...