Suara
berteriak-teriak di jalan tepat berada di dekatku. Terbungkam suaranya
sekejap untuk menyapa lembut padaku saat tahu akumelawatinya. Senyum
yang tertuai begitu alami, tak dibuat-buat. Bahkan takpedih, tak ada
raut keluh pada kehidupan, meski di punggungnya menggendong satukasur
besar menatap langit dan menggelantung di bahunya bantal dan guling.
Ia meneruskan kembali panggilan-panggilan pada warga tentangkasur bantal dan gulingnya, dengan semangat pagi yang membara segar setelahsenyum indah itu terucap untuk ku,
Tak ada warga yang mencoba menghampirkan ia kerumahnya,karena mungkin saja zaman telah berganti. Kasur kapuk kini bukan lagi jadipilihan kalau spring bed empuk sudahcukup menggantikan.
senyum itu, ya, senyum itu....
senyum di antara perjuangan, dan kerasnya kehidupan, tetaptertuai segar walau siang masih banyak memberi tantangan yang lebih kejam, tapisenyumnya begitu siap untuk menerima itu semua.
ketika langkahkuharus berpisah dengan nya, pada beloknya jalanku dan lurusnya jalan yang iatempuh, maka aku berlari mencari sela untuk mendengar dan melihat ibu-ibupenjual kasur itu satu kali lagi .
Biar semangatnya memberi sengatan dalam jiwa ku. Dan senyumnyamenjadi guratan pada lembaran sunyi di gudang penyimpanan ma’na dalam diriku. Agarsuatu hari aku bisa membaca kembali tentang semangat nya, dan kembali memberisengatan itu padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar